FIKIH SHOLAT FARDHU
(Hukum dan perbedaan pendapat dalam praktik sholat)
1. Niat Sholat
Hukum Melafadzkan niat sholat
A. Yang tidak membolehkan
Dalil:
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad, I/201, ”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits saja dari Rasul dan para sahabat tentang perkara ini (mengucapkan niat), tentu kami akan menerimanya. Kami akan menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang patut diikuti kecuali petunjuk yang disampaikan oleh pemilik syari’at yaitu Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam.” Dan sebelumnya beliau mengatakan mengenai petunjuk Nabi dalam shalat,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak mendirikan shalat maka beliau mengucapkan : ‘Allahu Akbar’. Dan beliau tidak mengatakan satu lafadz pun sebelum takbir dan tidak pula melafadzkan niat sama sekali.”
Maka setiap orang yang menganjurkan mengucapkan niat wudhu, shalat, puasa, haji, dsb, maka silakan tunjukkan dalilnya. Jika memang ada dalil tentang niat tersebut, maka kami akan ikuti. Dan janganlah berbuat suatu perkara baru dalam agama ini yang tidak ada dasarnya dari Nabi. Karena Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,” Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim). Dan janganlah selalu beralasan dengan mengatakan ’Niat kami kan baik’, karena sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhuma mengatakan,”Betapa banyak orang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi, sanadnya shahih, lihat Ilmu Ushul Bida’, hal. 92)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad:
Yang artinya“Apakah orang yang shalat mengucapkan sesuatu sebelum takbir? Imam Ahmad menjawab: tidak ada” (Masa-il Al Imam Ahmad, 31)
Didalam “al Fiqh ala al Madzahib al Arba’ah” disebutkan para ulama Maliki mengatakan bahwa melafazhkan niat adalah bertentangan dengan keutamaan kecuali bagi orang yang dibisik-bisikkan (didadanya) maka ia dianjurkan untuk menghilangkan bisikan itu. Para ulama Hanafi mengatakan bahwa melafazhkan niat adalah perbuatan bid’ah dan dianggap baik jika untuk menghilangkan bisikan-bisikan itu. Wallahu A’lam
Penulis: Ustadz Sigit Pranowo,Lc
Sumber: https://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/niat-ibadah-ingin-menanya-lebih-jelas.htm#.XqJ4AVczbcc
B. Yang membolehkan
Para ulama Syafi’i memang mengatakan bahwa tidak mengapa dengan melafazhkan niat bahkan disunnahkan. Mereka mengatakan bahwa shalatnya tetap sah dan diterima walaupun dirinya tidak melafazhkan niatnya.
Penulis: Ustadz Sigit Pranowo,Lc
Sumber: https://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/niat-ibadah-ingin-menanya-lebih-jelas.htm#.XqJ4AVczbcc
Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri menyebutkan dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah: Sesungguhnya yang dianggap dalam niat itu adalah hati, ucapan lidah bukanlah niat, akan tetapi membantu untuk mengingatkan hati, kekeliruan pada lidah tidak memudharatkan selama niat hati itu benar, hukum ini disepakati kalangan Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali.
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim). Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/11269/melafalkan-niat-dalam-shalat
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim). Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/11269/melafalkan-niat-dalam-shalat
2. Takbiratul Ikhram
- Tangan sebahu
hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya sejajar pundaknya ketika memulai (membuka shalat), ketika bertakbir untuk ruku’, ketika mengangkat kepalanya bangkit dari ruku’ juga mengangkat tangan, dan saat itu beliau mengucapkan ‘SAMI’ALLOHU LIMAN HAMIDAH, ROBBANAA WA LAKAL HAMDU’. Beliau tidak mengangkat tangannya ketika turun sujud.” (HR. Bukhari, no. 735 dan Muslim, no. 390).
- Tangan setelinga
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya sejajar pundaknya ketika memulai (membuka shalat), ketika bertakbir untuk ruku’, ketika mengangkat kepalanya bangkit dari ruku’ juga mengangkat tangan, dan saat itu beliau mengucapkan ‘SAMI’ALLOHU LIMAN HAMIDAH, ROBBANAA WA LAKAL HAMDU’. Beliau tidak mengangkat tangannya ketika turun sujud.” (HR. Bukhari, no. 735 dan Muslim, no. 390).
- Tangan setelinga
Dari Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar kedua telinganya. Jika ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya juga sejajar kedua telinganya. Jika bangkit dari ruku’, beliau mengucapkan ‘SAMI’ALLOHU LIMAN HAMIDAH’, beliau melakukan semisal itu pula.” (HR. Muslim, no. 391).
Sumber: https://rumaysho.com/19615-manhajus-salikin-sifat-shalat-nabi-takbiratul-ihram-dan-mengangkat-tangan.html
Sumber: https://rumaysho.com/19615-manhajus-salikin-sifat-shalat-nabi-takbiratul-ihram-dan-mengangkat-tangan.html
3. Cara Sedakep
- Dipunggung tangan, pergelangan
“Kemudian meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, di pergelangan tangan, atau di lengan tangan kiri(as-saa’idyaitu antara sik dan telapak tangan).” (HR. Ahmad,4:318 dan Abu Daud,no. 727. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih).
- Jari melingkari (menggenggam)
Bisa juga tangan kanan menggenggam tangan kiri (yang dimaksud pergelengan tangan kiri) sebagaimana disebutkan dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata,
“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam shalat, tangan kanan beliau menggenggam tangan kirinya.” (HR. An-Nasa’i,no. 8878 dan Ahmad, 4:316. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
- Posisi letak tangan
Mayoritas ulama berpendapat bahwa meletakkan tangan ketika sedekap tidak pada tempat tertentu. Jadi sah-sah saja meletakkan tangan di dada, di pusar, di perut atau di bawah itu. Karena yang dimaksud mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Sedangkan yang lebih dari itu dengan menentukan posisi tangan sedekap tersebut butuh pada dalil. Meletakkan tangan di dada maupun di bawah pusar sama-sama berasal dari hadits yang dha‘if (lemah). (Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath-Atharifi dalam karya beliau Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 87-90).
4. Doa Iftitah
“ALLOHUMMA BAA’ID BAYNII WA BAYNA KHOTHOYAAYA. KAMAA BAA’ADTA BAYNAL MASYRIQI WAL MAGHRIB. ALLOHUMMA NAQQINII MINAL KHOTHOYAA. KAMAA YUNAQQOTS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS. ALLOHUMMAGH-SIL KHOTHOYAAYA BIL MAA-I WATS TSALJI WAL BAROD
Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan air dingin” (HR.Bukhari 2/182, Muslim 2/98)
Doa ini biasa dibaca Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam shalat fardhu. Doa ini adalah doa yang paling shahih diantara doa istiftah lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (2/183).
(Ada 12 macam doa istiftah)
Sumber: https://muslim.or.id/7934-macam-%E2%80%93-macam-doa-istiftah.html
Doa Istiftah #01
“SUBHAANAKALLOHUMMA WA BI HAMDIKA WA TABAAROKASMUKA WA TA’AALAAJADDUKA WA LAA ILAHA GHOIRUK
(artinya: Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau).” (HR. Muslim, no. 399; Abu Daud, no. 775;Tirmidzi, no. 242; Ibnu Majah, no. 804).
Doa Istiftah #02
“ALLOHUMMA BAA’ID BAYNII WA BAYNA KHOTHOYAAYA KAMAA BAA’ADTA BAYNAL MASYRIQI WAL MAGHRIB. ALLOHUMMA NAQQINII MIN KHOTHOYAAYA KAMAA YUNAQQOTS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS. ALLOHUMMAGH-SILNII MIN KHOTHOYAAYA BIL MAA-I WATS TSALJI WAL BAROD
(artinya: Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun).” (HR. Bukhari,no. 744;Muslim,no. 598;An-Nasa’i,no. 896;teks haditsnyaadalah dari An-Nasa’i).
Doa Istiftah #03
Biasa dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat malam.
“ALLOHUMMA ROBBA JIBROO-IILA WA MII-KA-IILA WA ISROOFIILA, FAATHIROS SAMAAWAATI WAL ARDHI ‘ALIIMAL GHOIBI WASY SYAHAADAH ANTA TAHKUMU BAYNA ‘IBAADIKA FIIMAA KAANUU FIIHI YAKHTALIFUUN, IHDINII LIMAKHTULIFA FIIHI MINAL HAQQI BI-IDZNIK, INNAKA TAHDI MAN TASYAA-U ILAA SHIROOTIM MUSTAQIIM
(artinya: Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum untuk memutuskan apa yang mereka pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin dari-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki).” (HR. Muslim, no. 770)
Doa Istiftah #04
“ALLOHU AKBAR KABIIRO, ALLOHU AKBAR KABIIRO, ALLOHU AKBAR KABIIRO, WALHAMDULILLAHI KATSIIRO, WALHAMDULILLAHI KATSIIRO, WALHAMDULILLAHI KATSIIRO, WA SUBHANALLAHI BUKROTAW WASHIILAA, WA SUBHANALLAHI BUKROTAW WASHIILAA, WA SUBHANALLAHI BUKROTAW WASHIILA A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHOONI MIN NAFKHIHI, WA NAFTSHIHI, WA HAMZIH
(artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore. Aku berlindung kepada Allah dari tiupan, bisikan, dan godaan setan).” (HR. Abu Daud, no. 764; Ibnu Majah, no. 807; Ahmad, 4:80,85. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan ‘Abdul Qadir Al-Arnauth dalam tahqiq Zaad Al-Ma’ad, 1:197 mengatakan bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi).
5. Membaca Ta’awudz
Kita tahu bahwa bacaan ta’awudz yang bisa dipraktekkan dalam shalat saat mulai membaca surat Al Fatihah adalah:
“A’udzu billahis samii’il ‘aliim, minasy syaithoonir rojiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih (artinya: aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui dari gangguan syaitan yang terkutuk, dari kegilaannya, kesombongannya, dan nyanyiannya yang tercela).” (HR. Abu Daud no. 775 dan Tirmidzi no. 242. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan sanad hadits ini hasan. Pengertian “min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih“, lihat Kitab Shifatish Shalah min Syarhil ‘Umdah, hal. 104).
Bisa pula mencukupkan ta’awudz dengan membaca,
“A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim (artinya: aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).” Hal ini berdasarkan keumuman ayat yang memerintahkan membaca ta’awudz baik di dalam maupun di luar shalat ketika memulai membaca Al Qur’an,
“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An Nahl: 98). (Lihat Kitab Shifatish Shalah, hal. 101).
Ta’awudz dibaca pada raka’at pertama sebelum memulai membaca surat setelah membaca doa istiftah. Menurut pendapat yang lebih kuat, ta’awudz hanya ada pada rakaat pertama karena inilah yang dituntunkan dalam hadits yang membicarakan tentang perintah membaca ta’awudz.
- Hukum membaca Ta’awudz
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum membaca ta’awudz ketika shalat. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Di antara ulama kontemporer yang berpendapat bahwa hukumnya sunnah adalah Syaikh Masyhur Hasan Salman (Al-Qaulul Mubiin, hal. 109).
Sebagian ulama yang lain, di antaranya adalah ‘Atha’, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza’i, dan Ibnu Hazm rahimahumullahu Ta’ala, menyatakan bahwa hukum membacanya adalah wajib. (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 331)
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl [16]: 98)
Ayat di atas menunjukkan perintah untuk meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala ketika hendak membaca Al-Qur’an. Dan sebagaimana kita ketahui dalam ilmu ushul fiqh bahwa hukum asal perintah adalah wajib.
Dari dua pendapat di atas, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan sunnah. Hal ini karena terdapat dalil yang memalingkan perintah Allah Ta’ala dalam surat An-Nahl ayat 98 dari hukum asal wajib menjadi sunnah (dianjurkan).
Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah-tengah kami dan saat itu beliau dalam keadaan tidur ringan (tidak nyenyak). Lantas beliau mengangkat kepala dan tersenyum. Kami pun bertanya, “Mengapa Engkau tertawa, wahai Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Baru saja turun kepadaku suatu surat.” Lalu beliau membaca,
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (QS. Al-Kautsar: 1-3).” (HR. Muslim no. 400)
Dalam kisah turunnya surat Al-Kautsar di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Kautsar tanpa membaca ta’awudz terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa hukum membaca ta’awudz sebelum membaca Al-Qur’an tidak sampai derajat wajib. Wallahu Ta’ala a’lam.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath-Tharifi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan sunnah.” (Shifat Shalat Nabi, hal. 90)
6. Membaca Basmalah
Hukum membaca Basmalah
- Bacaan tidak dibaca atau dilirihkan
Para fuqaha berbeda pendapat dalam hal hukum membaca basmalah bagi imam, makmum dan orang yang shalat sendirian. Perbedaan ini muncul dari masalah apakah basmalah merupakan bagian dari Al-Fatihah ataukah bukan.
Dalam madzhab Hanafiyah, disunnahkan membaca basmalah secara lirih bagi imam dan orang yang shalat sendirian di setiap membaca awal Al-Fatihah di setiap raka’at. Namun tidak disunnahkan membaca basmalah antara Al-Fatihah dan surat lainnya secara mutlak menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf karena menurut mereka basmalah bukan merupakan bagian dari Al-Fatihah. Penyebutan basmalah hanya untuk mengambil berkah (tabarruk).
Yang masyhur dalam madzhab Malikiyah, basmalah bukan bagian dari Al-Fatihah. Sehingga basmalah tidak dibaca dalam shalat wajib yang sirr (Zhuhur dan Ashar) dan jaher (Maghrib, Isya dan Shubuh), baik bagi imam, makmum maupun munfarid (orang yang shalat sendirian).
Pendapat yang paling kuat dalam madzhab Hambali, tidak wajib membaca basmalah saat membaca Al-Fatihah, begitu pula surat lainnya di setiap raka’at.
Juga pendapat terkuat dalam madhzab Imam Ahmad, disunnahkan membaca basmalah secara lirih pada dua raka’at pertama dari setiap shalat. Begitu pula basmalah dibaca pada awal surat setelah surat Al-Fatihah, namun lirih. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 8: 86-88)
Adapun ulama yang berdalil bahwa bismillahirrahmanirrahim tidak dikeraskan adalah berdasarkan hadits dari ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membuka shalatnya dengan takbir lalu membaca alhamdulillahi robbil ‘alamin.” (HR. Muslim no. 498).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di ketika menjelaskan hadits di atas dalam ‘Umdah Al-Ahkam, beliau berkata, “Ini adalah dalil bahwa bacaan basmalah tidaklah dijahrkan (dikeraskan).” (Syarh ‘Umdah Al-Ahkam karya Syaikh As-Sa’di, hlm. 161).
Juga dalil lainnya adalah hadits Anas, di mana ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ )
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga bersama Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman, aku tidak pernah mendengar salah seorang dari mereka membaca ‘ bismillahir rahmanir rahiim’.” (HR. Muslim no. 399).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang sesuai sunnah, basmalah dibaca sebelum surat Al Fatihah dan bacaan tersebut dilirihkan (tidak dikeraskan).” (Kitab Shifat Ash-Shalah min Syarh Al-‘Umdah karya Ibnu Taimiyah, hlm. 105).
Sumber: https://rumaysho.com/12467-hukum-al-fatihah-2-mengeraskan-basmalah-dalam-shalat.html
Sumber: https://rumaysho.com/12467-hukum-al-fatihah-2-mengeraskan-basmalah-dalam-shalat.html
- Bacaan dikeraskan
Pendapat yang paling kuat dalam madzhab Syafi’i, wajib bagi imam dan makmum serta munfarid untuk membaca basmalah dalam setiap raka’at sebelum membaca Al-Fatihah, baik shalat tersebut wajib ataukah sunnah, begitu pula berlaku dalam shalat sirr (Zhuhur dan Ashar) dan shalat jaher (Maghrib, Isya dan Shubuh).
Sumber: Rumasyo.com
Dari penjelasan sebelumnya, kita ketahui bahwa Syafi’iyah berpendapat wajibnya membaca basmalah karena ia merupakan bagian dari Al Fatihah. Dan mengingat membaca Al Fatihah adalah rukun shalat, maka shalat tidak sah jika tidak membaca basmalah karena adanya kekurangan dalam membaca Al Fatihah. Sebagaimana hadits
“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
Sebagian ulama berpendapat basmalah disunnahkan dibaca secara keras (jahr). Diantara yang berpendapat demikian adalah ulama Syafi’iyyah. Mereka berdalil dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa basmalah adalah bagian dari Al Fatihah, maka dibaca secara jahr sebagaimana Al Fatihah (lihat Sifatu Shalatin Nabi, 81; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 16/182).
7. Membaca Al Fatihah bagi makmum
- Tidak dibaca
Allah telah berfirman dalam Al-Quran surah Al A’rof : 204
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Ulama-ulama dari kalangan madzhab Hanafi misalnya, mereka berpendapat bahwa makmum tidak perlu membaca Al-Fatihah.
Adapun ulama-ulama dari kalangan Madzhab Maliki dan Hanbali berpendapat, makmum perlu membaca Al-Fatihah dan surat pada shalat sirr (bacaan shalat yang dibaca dengan suara pelan) saja. Dan tidak membaca apapun pada shalat jahr (bacaan shalat yang dibaca dengan suara keras.
- Wajib Dibaca
Kewajiban membaca Al-Fatihah termuat dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim. Dari Ubâdah bin ash-Shâmit dia berkata,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fâtihah.’[HR. al-Bukhâri, no. 723 ; Muslim, no. 394; dll]
Sedangkan ada pula dalil yang menyatakan bahwa ketika imam membaca surah Al-Fatihah kita harus diam. Kemudian kita baru membaca surah Al-Fatihah antara selesainya imam membaca Al-Fatihah. Meskipun imam sudah membaca surah yang lain kita tetap membaca Al-Fatihah. Berbeda urusannya jika kita merupakan makmum masbuk. Kita tinggal mengikuti gerakan imam. Dari keterangan ini sudah jelas bahwa hukum membaca al-fatihah saat shalat berjamaah itu wajib agar shalat kita sah.
Hal ini diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, (823) dari Ubadah bin Shomit radhiallahu anhu berkata;
“Dahulu kami shalat dibelakang Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dalam shalat fajar. Maka Rasulullah sallalalhu alaihi wa sallam membacanya sehingga berat bagi beliau (ada) bacaan (lain). Ketika selesai, beliau bersabda, “Kayaknya anda semua membaca di belakang imam. Kami menjawab, “Ya wahai Rasulullah. Beliau bersabda, “Jangan lakukan kecuali Fatihatul Kitab (surat Al-Fatihah) karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya.
Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa mkmum membaca surah Al Fatihah ketika imam selesai membaca surah Al-Fatihah.
Sumber:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “jika anda menjadi makmum, maka disyariatkan membacanya secara langsung setelah imam membaca Al Fatihah. Maka bacalah Al Fatihah walaupun ketika itu imam sedang membaca. Dan terkadang itu memang menimbulkan kesulitan karena anda membaca sementara imam juga membaca. Lebih lagi jika imam membacanya dengan menggunakan pengeras suara. Namun kami katakan, lalui saja dan bersabarlah, karena barangsiapa yang bersabar ia akan menang” (Majmu Fatawa War Rasail, 13/128).
Sumber: https://muslim.or.id/20907-membaca-al-fatihah-dalam-shalat-2.html
Sumber: https://muslim.or.id/20907-membaca-al-fatihah-dalam-shalat-2.html
8. Mengucapkan Aamiin
- Disyariatkan secara mutlak
• Hadits Wâ’il bin Hujr Radhiyallahu anhu yang artinya: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca : GHAIRIL MAGHDHÛBI ‘ALAIHIM WALADH-DHÂLÎN lalu beliau mengucapkan : âmîn dengan memanjangkan suaranya.[13] Nampak dalam hadits ini adanya pensyariatan ucapan âmîn setelah membaca al-Faatihah secara mutlak baik didalam shalat maupun diluarnya. Oleh karenanya imam ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Sahabat-sahabat kami (ulama madzhab Syafi’iyyah (pen)) dan selain mereka menyatakan bahwa disunnahkan hal itu pada orang yang membacanya diluar shalat dan lebih ditekankan lagi pada diri orang yang shalat, baik sendirian, sebagai imam ataupun sebagai makmum dan dalam segalakeadaan.[14]
• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang artinya: Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa yang ucapan âmînnya berbarengan dengan ucapan amiin para malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. [15]
- Tidak disyariatkan secara mutlak
• Pendapat Imam Syâfi’i rahimahullah dalam al-qaulul jadîd (pendapat beliau rahimahullah setelah berada di mesir) yang memandang makmum tidak disyariatkan mengucapkan âmîn apabila imam telah mengucapkannya dengan jelas.
Sumber: https://almanhaj.or.id/3600-mengucapkan-amien-setelah-al-fatihah.html
Sumber: https://almanhaj.or.id/3600-mengucapkan-amien-setelah-al-fatihah.html
9. Hukum takbir selain takbiratul ihram
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum takbir selain takbiratul ihram atau takbir intiqal menjadi tiga pendapat:
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum takbir selain takbiratul ihram atau takbir intiqal menjadi tiga pendapat:
1. Pendapat pertama, hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
2. Pendapat kedua, hukumnya wajib. Merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
3. Pendapat ketika, hukumnya wajib pada shalat fardhu, namun sunnah pada shalat sunnah. Ini pendapat yang lain dari Imam Ahmad.
Catatan: Intiqal artinya perpindahan, takbir intiqal berarti takbir yang diucapkan pada saat berpindah dari satu posisi ke posisi lainnya di dalam shalat, misalnya dari berdiri ke ruku’, dari ruku’ ke sujud.
Pendapat yang mewajibkan berdalil dengan hadits Abu Hurairah,
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassalam ketika shalat, beliau bertakbir saat berdiri, kemudian bertakbir ketika akan rukuk dan mengucapkan: ‘sami’allahu liman hamidah’, yaitu ketika ia mengangkat punggungnya dari ruku. Dan ketika sudah berdiri beliau mengucapkan ‘rabbanaa wa lakal hamd’. Kemudian beliau bertakbir ketika akan bersujud. Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya (bangun dari sujud). Kemudian beliau bertakbir lagi ketika akan bersujud. Kemudian bertakbir lagi ketika mengangkat kepalanya (bangun dari sujud). Kemudian beliau melakukan hal itu dalam semua rakaat hingga selesai shalat” (HR. Al Bukhari 789).
Juga hadits,
“shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Al Bukhari 631, 6008).
Hadits ini menggunakan kata perintah sehingga para ulama mengatakan bahwa hukum asal tata cara shalat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah wajib. Namun jumhur ulama menjawab, bahwa kaidah fiqhiyyah mengatakan,
“perintah menunjukkan hukum wajib, kecuali ada qarinah yang menyimpangkan dari hukum wajib”
Dan ada 2 qarinah (isyarat) yang menyimpangkan dari wajibnya hal tersebut:
1. Qarinah pertama, tidak ternukil riwayat bahwa praktek takbir yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tersebut dilakukan secara terus-menerus.
2. Qarinah kedua, terdapat banyak riwayat dari para sahabat bahwa mereka biasa meninggalkan takbir intiqal.
“dari Imran bin Hushain, ia berkata bahwa ia pernah shalat bersama Ali bin Abi Thalib di Bashrah. Ia berkata: ‘Orang ini mengingatkan kita pada cara shalat yang biasa kita dipraktekkan bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam‘. Dan ia menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah beliau senantiasa bertakbir ketika naik dan ketika turun” (HR. Al Bukhari 784).
Hadits ini menunjukkan bahwa sebagian sahabat biasa meninggalkan takbir intiqal, sehingga ketika ada sahabat yang senantiasa ber-takbir intiqal mereka teringat bahwa demikianlah praktek shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Bukan karena para sahabat tersebut meninggalkan tuntunan Rasulullah, namun karena mereka memahami bahwa takbir intiqal bukanlah sesuatu yang wajib.
10. Hukum takbir mengangkat tangan saat takbiratul ikhram rakaat pertama, hendak rukuk, bangun dari rukuk, dan ketika berdiri dari rakaat kedua.
Tidak setiap awal rakaat diharuskan mengangkat tangan dalam bertakbir. Namun para ulama menetapkan mengangkat tangan dalam takbir disunnahkan dalam empat tempat:
Pada takbîratul ihram dirakaat yang pertama Ketika hendak ruku’ Ketika mengucapkan Samiallâhu liman hamidah setelah ruku’ Ketika berdiri dari rakaat kedua menuju rakaat ketiga Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nafi’ maula Ibnu Umar rahimahullah, beliau mengatakan:
Sesungguhnya Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma biasanya jika hendak memulai shalatnya beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Jika hendak ruku’ juga mengangkat kedua tangannya. Jika beliau mengucapkan, ”Sami’allâhu liman hamidah” juga mengangkat kedua tangannya. Jika berdiri dari rakaat kedua juga mengangkat kedua tangannya. Ibnu Umar Radhiyallahu anhu memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [HR. Al-Bukhâri, no. 739 dan Muslim no. 390]
Sedangkan Sâlim bin Abdillah bin Umar rahimahullah menyampaikan dari bapaknya Radhiyallahu anhu yang berkata:
Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya apabila memulai shalat dan ketika bertakbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepala dari ruku’ Beliau juga mengangkat keduanya dan mengucapkan, “Sami’allâhu liman hamidah rabbanâ wa lakal hamdu” dan Beliau tidak melakukan hal itu dalam sujudnya.” [HR. Al-Bukhâri]
Syaikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua bahunya atau sejajar dengan cuping telinganya (bagian bawah daun telinga) dalam empat tempat: ketika takbiratul ihram dirakaat yang pertama. ketika hendak ruku’ ketika bangun dari ruku’ Ketika berdiri dari tasyahud awal ” [Lihat Syarh Manhajus Sâlikîn wa Taudhîhil Fiqh Fid Din 1/87].
Sedangkan Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim mengatakan, “Inilah empat tempat dimana sangat disunnahkan mengangkat kedua tangan. Namun disunnahkan juga kadang-kadang mengangkat kedua tangan pada setiap hendak bangkit dan akan turun. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Malik bin al-Huwairits Radhiyallahu anhu : Sesungguhnya beliau pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengangkat kedua tangannya setiap kali hendak bangkit dan akan turun, ketika bangkit dari ruku’, ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga sejajar kedua telinganya “ (HR. An-Nasa’i, no. 672 dan Ahmad no. 493. Penulis Shahîh Fiqh Sunnah menilai hadits ini shahih). [Lihat Shahîh Fiqh Sunnah oleh Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, hlm. 1/343-344]
Sumber: https://almanhaj.or.id/6454-sunnah-mengangkat-tangan-dalam-shalat-dan-tempatnya.html
Sumber: https://almanhaj.or.id/6454-sunnah-mengangkat-tangan-dalam-shalat-dan-tempatnya.html
11. Bacaan Ruku’
subhaana robbiy al ‘azhim/ 3x
“Maha suci Allah yang Maha Agung” (HR. Abu Daud 874, An Nasa’i 1144, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Shifat Shalat Nabi, 1/268).
subhaana robbiy al ‘azhimi wa bi hamdihi/ 3x
“Maha suci Allah yang Maha Agung” (HR. Abu Daud 874, An Nasa’i 1144, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Shifat Shalat Nabi, 1/268).
subhaana robbiy al ‘azhimi wa bi hamdihi/ 3x
“Maha suci Allah yang Maha Agung dan segala puji bagiMu” (HR. Abu Daud 870, Al Bazzar 7/322, dishahihkan Al Albani dalam Shifat Shalat Nabi, 133).
subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh
“Maha Suci Allah Rabb para Malaikat dan Ar Ruuh (Jibril)” (HR. Muslim 487).
subhaanakallohumma robbanaa wa bihamdika, allohummaghfirli
“Maha Suci Allah, Rabb kami, segala puji bagiMu. Ya Allah ampuni dosaku” (HR. Al Bukhari 817).
(ada 7 bacaan)
subhaana robbiy al ‘azhim
atau
subhaana robbiy al ‘azhimi wa bi hamdihi
Menurut mayoritas ulama kalimat dzikir diatas batas minimalnya adalah dibaca sekali dan sempurnanya dibaca tiga kali. Pendapat ini didasarkan kepada hadits riwayat Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah n bersabda : “Apabila kalian ruku’ maka bacalah dalam ruku’ kalian ‘Subhana rabbiyal ‘adziem’ tiga kali.” (HR. Tirmidzi)
Sebagian ulama menyukai membaca tasbih sebanyak sepuluh kali, hal ini didasarkan pada perkataan dari shahabat Anas bin Malik ketika melihat Umar bin Abdul Aziz sholat, ia berkata : “Aku tidak pernah sholat di belakang seorangpun (sepeninggal Rasulullah) yang sholatnya paling mirip dengan Rasulullah n dari pada pemuda ini (Umar bin Abdul Aziz). Sa’id bin Jubair berkata : “Maka kami kira-kirakan waktu ruku’ dan sujudnya sekitar sepuluh kali bacaan tasbih.”(HR Abu Dawud)
Namun Malikiyah mengatakan banyaknya bacaan tersebut tidak meiliki batasan.
‘SUBHAANAKALLOHUMMA ROBBANAA WA BIHAMDIKA ALLOHUMMAGH-FIRLII
Dalil:
Dalil:
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak membaca saat rukuk dan sujud ‘SUBHAANAKALLOHUMMA ROBBANAA WA BIHAMDIKA ALLOHUMMAGH-FIRLII (artinya: Mahasuci Engkau, Ya Allah, Rabb kami, dengan memuji-Mu, Ya Allah, ampunilah aku).’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 817 dan Muslim, no. 484]
SUBBUHUN QUDDUS ROBBUL MALAAIKATI WAR-RUUH
SUBBUHUN QUDDUS ROBBUL MALAAIKATI WAR-RUUH
Dalil:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rukuk dan sujudnya mengucapkan, “SUBBUHUN QUDDUS ROBBUL MALAAIKATI WAR-RUUH (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabb para malaikat dan Ar-Ruh [Jibril]).” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 487]
Sumber: https://rumaysho.com/16715-faedah-bacaan-saat-rukuk-dan-sujud.html
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rukuk dan sujudnya mengucapkan, “SUBBUHUN QUDDUS ROBBUL MALAAIKATI WAR-RUUH (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabb para malaikat dan Ar-Ruh [Jibril]).” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 487]
Sumber: https://rumaysho.com/16715-faedah-bacaan-saat-rukuk-dan-sujud.html
- Hukum bacaan rukuk
Bagaimana hukum membaca dzikir-dzikir tersebut? Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi mengatakan: “Dzikir ketika rukuk hukumnya sunnah mu’akkadah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Asy Syafi’i. Jadi andaikan ditinggalkan maka tidak berdosa dan shalatnya tetap sah. Baik ditinggalkan karena lupa atau karena sengaja. Sedangkan Imam Ahmad dan Ishaq mengatakan hukumnya wajib, jika ditinggalkan sengaja maka batal shalatnya namun jika karena lupa tidak batal” (Shifatu Shalatin Nabi lit Tharify, 122-123).
Sumber: https://muslim.or.id/28953-tata-cara-rukuk-dalam-shalat-2.html
Sumber: https://muslim.or.id/28953-tata-cara-rukuk-dalam-shalat-2.html
- Posisi rukuk
1. Memegang kedua lutut dengan kedua tangan dan merenggangkan jari-jemari.
Hal ini berdasarkan hadits : ”Jika engkau ruku letakkanlah kedua tangAnmu di atas lututumu. Kemudian renggangkanlah jari-jarimu sampai tulang belakangmu menjadi mapan ditempatnya.” (HR Ibnu Khuzaimah & Ibnu Hibban).
Juga diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’ad a, ia berkata : “ Aku pernah sholat disamping ayahku (kemudian ruku’) dengan meletakkan tangan dipaha dengan jari-jemari merapat. Lantas ayahku melarang dari hal itu, ia berkata, “Kami diperintahkan untuk meletakan tangan dilutut (dikala ruku’) (HR. Ahmad)
2. Meluruskan punggung di saat ruku’
Diantara sifat ruku’ Nabi n di dalam sholat adalah beliau menegakkan punggungnya, dan menyeimbangkan kepala, yakni tidak menunduk dan juga tidak mendongak. Sebagaimana keterangan dari ummul mukminin Aisyah yang mengatakan : “Beliau ketika ruku’ tidak mengangangkat atau menundukkan kepala, tetapi seimbang diantara keduanya.” (HR. Muslim)
12. I’tidal
Dalam rukuk ada bacaan tasmi’, yaitu mengucapkan: sami’allahu liman hamidah (artinya: “Allah mendengar orang yang memuji-Nya”). Dan ada bacaan tahmid, yaitu mengucapkan: rabbana walakal hamdu (artinya: “Ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu”).
Lafadz-lafadz tahmid
Pertama: rabbana walakal hamdu
Pertama: rabbana walakal hamdu
Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik dan Abu Hurairah
Kedua: rabbana lakal hamdu
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: jika imam mengucapkan: sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah: rabbana lakal hamdu. Barangsiapa yang ucapannya tersebut bersesuaian dengan ucapan Malaikat, akan diampuni dosa-dosanya telah lalu” (HR. Bukhari no. 796, Muslim no. 409).
- Hukum membaca tasmi’ dan tahmid
Di sini ulama berselisih pendapat mengenai hukum tasmi’ dan tahmid menjadi 2 pendapat
Di sini ulama berselisih pendapat mengenai hukum tasmi’ dan tahmid menjadi 2 pendapat
Pendapat pertama: Ulama Hambali berpendapat bahwa tasmi’ dan tahmid hukumnya wajib bagi imam dan munfarid. Namun bagi makmum hanya wajib tahmid saja.
Pendapat kedua: Jumhur ulama berpendapat bahwa tasmi’ dan tahmid hukumnya sunnah. Namun mereka berbeda pendapat mengenai rinciannya:
· Ulama Malikiyah dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa imam hanya disunnahkan membaca tasmi’ dan tidak perlu membaca tahmid. Sedangkan makmum disunnahkan membaca tahmid saja dan tidak perlu membaca tasmi’. Dan munfarid disunnahkan membaca keduanya.
· Abu Yusuf Al Hanafi dan juga satu riwayat pendapat dari Abu Hanifah, mengatakan imam dan munfarid disunnahkan membaca tasmi’ dan tahmid sekaligus. Dan makmum hanya disunnahkan membaca tasmi’ saja.
· Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa imam, makmum dan munfarid disunnahkan membaca tasmi’ dan tahmid (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27/92-94).
- Makmum tidak mengucapkan sami’allahu liman hamidah
Dalil:
Adapun mengenai makmum, maka yang wajib hanya mengucapkan tahmid, berdasarkan zahir hadits Anas bin Malik di atas:
“Jika ia (imam) mengucapkan: sami’allahu liman hamidah. Maka ucapkanlah: rabbana walakal hamdu” (HR. Bukhari no. 361, Muslim no. 411).
- Makmum mengucapkan sami’allahu liman hamidah
Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa imam, makmum dan munfarid disunnahkan membaca tasmi’ dan tahmid (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27/92-94).
13. Sujud
- Cara turun sujud
Para ulama berbeda pendapat mengenai cara turun sujud dalam dua pendapat:
Pendapat pertama: kedua lutut dahulu baru kedua tangan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, diantaranya Syafi’iyyah, Hanabilah dan Hanafiyyah.
Dari Alqamah dan Al Aswad rahimahumallah:
“Aku mengingat cara shalat Umar (bin Khathab) bahwa beliau turun sujud setelah rukuk dengan bertumpu pada lututnya sebagaimana unta yang meringkuk. Beliau meletakkan lututnya lebih dahulu dari tangannyaز” (HR. Ath Thahawi dalam Syarah Ma’anil Atsar, 1419, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Sifati Shalatin Nabi, 2/717)
Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah.
Pendapat kedua: kedua tangan dahulu baru kedua lutut. Ini adalah pendapat ulama Malikiyyah dan juga salah satu pendapat Imam Ahmad.
Dari Nafi’ rahimahullah, ia berkata:
“Ibnu Umar dahulu meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnyaز” (HR. Al Bukhari secara mu’allaq di hadits no. 803, Ibnu Khuzaimah no. 627, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil, 2/77)
Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
Wallahu a’lam, pendapat kedua nampaknya yang lebih kuat, karena terdapat hadis:
“Jika kalian sujud maka jangan turun sujud seperti meringkuknya unta. Hendaknya ia letakkan tangannya sebelum lutunya.” (HR. Abu Daud no. 840, Al Baihaqi no. 2739, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Sifati Shalatin Nabi 2/720)
- Tujuh anggota sujud
Anggota sujud adalah bagian-bagian tubuh yang menjadi tumpuan ketika melakukan sujud. Ini disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:
Anggota sujud adalah bagian-bagian tubuh yang menjadi tumpuan ketika melakukan sujud. Ini disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:
“Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan: kening (lalu beliau menunjuk juga pada hidungnya), kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki.” (HR. Bukhari no. 812, Muslim no. 490)
Dalil yang menyatakan kedua lengan diangkat:
1. Punggung lurus, kedua lengan diangkat dan tidak menempel ke lantai. Berdasarkan hadis dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
2. Hendaknya lurus ketika sujud. Dan jangan kalian merebahkan lengan kalian sebagaimana yang dilakukan anjing.” (HR. Bukhari nol 822, Muslim no. 493)
3. Lengan atas dibuka sehingga jauh dari badan. Sebagaimana dalam hadis dari Al Barra bin Azib radhiallahu’anhu, NabiShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Jika engkau sujud maka letakkan kedua tanganmu di lantai dan angkat sikumu.” (HR. Muslim no. 494)
Kedua tumit dirapatkan. Berdasarkan hadis dari Aisyah radhiallahu’anha:
“Suatu malam aku kehilangan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, padahal sebelumnya beliau bersamaku di tempat tidur. Kemudian aku mendapat beliau sedang sujud, dengan menempelkan dua tumitnya, menghadapkan jari-jari kakinya ke kiblat.” (HR. Muslim no. 486)
Meletakkan Kedua Tangan di Lantai dan Sejajar dengan Pundak atau Telinga
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangannya (ketika sujud) sejajar dengan pundaknya.” (HR. Abu Daud, Turmudzi dan dishahihkan Al Albani dalam Sifat Shalat, Hal. 141)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangannya (ketika sujud) sejajar dengan pundaknya.” (HR. Abu Daud, Turmudzi dan dishahihkan Al Albani dalam Sifat Shalat, Hal. 141)
Dan terkadang “Beliau meletakkan tangannya sejajar dengan telinga.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i dengan sanad shahih sebagaimana disebutkan Al Albani dalam Sifat Shalat, Hal. 141)
Sumber: https://konsultasisyariah.com/11979-cara-sujud-yang-benar.html
Sumber: https://konsultasisyariah.com/11979-cara-sujud-yang-benar.html
Di samping itu juga disunahkan mengangkat kedua siku dan bertumpu pada kedua telapak tangan. Hal ini didasarkan kepada riwayat al-Bara` Ibnu ‘Azib yang menyatakan bahwa Nabi saw menganjurkan kepada kita ketika bersujud untuk meletakkan kedua telapak tangan dan meninggikan kedua siku. Dan disunahkan untuk merenggangkan (menjauhkan) kedua siku dari kedua lambunngnya karena didasarkan riwayat Abu Qatadah ra yang menyatakan bahwa Nabi saw ketika bersujud merenggankan kedua lengan atas dari kedua lambungnya....dan disunahkan untuk mengangkat kedua sikunya dan bertumpu kepada kedua telapak tangannya karena didasarkan riwayat al-Barra` ibnu Azib ra yang menyatakan bahwa Nabi saw bersabda: ‘Ketika kamu sujud maka letakkanlah kedua tanganmu dan angkatlah kedua sikumu,’” (Lihat, Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, juz, I, h. 76) . Nah, berangkat dari penjelasan singkat ini, jika ada orang bersujud dengan menempelkan siku di sajadah, hal tersebut adalah makruh. Karena status hukumnya makruh, shalatnya tetap dianggap sah.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/65051/Posisi-Sujud-Siku-Menempel-di-Lantai
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/65051/Posisi-Sujud-Siku-Menempel-di-Lantai
- Sujud pada wanita
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam Al-Majmu’ (3:455), “Imam Syafi’i rahimahullah dalam Al-Mukhtashar menyatakan bahwa tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan dalam cara mengerjakan shalat kecuali wanita disunnahkan untuk merapatkan anggota tubuhnya dengan lainnya atau menghimpitkan antara perut dan pahanya saat sujud. Ini juga dilakukan ketika ruku’ dan dilakukan pada setiap shalat.”
Sumber: https://rumaysho.com/16552-cara-shalat-bagi-wanita-01.html
Sumber: https://rumaysho.com/16552-cara-shalat-bagi-wanita-01.html
- Bacaan Sujud
Kemudian ketika sujud membaca “subhana robbiyal a’laa”.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Hudzaifah, ia berkata bahwa
Ia pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau mengucapkan ketika ruku’ ‘subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung)’ dan ketika sujud, beliau mengucapkan ‘subhanaa robbiyal a’laa (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi).(HR. Muslim no. 772 dan Abu Daud no. 871).
Begitu pula boleh mengucapkan,
“Subhana robbiyal a’laa wa bi hamdih (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi dan pujian untuk-Nya)”. Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud no. 870, shahih)
Begitu juga ketika sujud bisa memperbanyak membaca,
“Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii (artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku)“. (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484).
Bacaan sujud lainnya yang bisa dibaca,
“Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-).” (HR. Muslim no. 487)
Sumber: https://rumaysho.com/7125-sifat-shalat-nabi-10-cara-sujud.html
Sumber: https://rumaysho.com/7125-sifat-shalat-nabi-10-cara-sujud.html
14. Duduk diantara dua sujud
- Cara duduk
Dari Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu beliau berkata:
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas lantai.”(HR. Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226)
- Bacaan saat duduk
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas lantai.”(HR. Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226)
- Bacaan saat duduk
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas disebutkan do’a duduk antara dua sujud yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Robbighfirlii warhamnii, wajburnii, warfa’nii, warzuqnii, wahdinii (artinya: Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, tinggikanlah derajatku, berilah rezeki dan petunjuk untukku).” (HR. Ahmad 1: 371. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa haditsnya hasan)
Sumber: https://rumaysho.com/7289-sifat-shalat-nabi-11-tentang-duduk-antara-dua-sujud.html
“Robbighfirlii warhamnii, wajburnii, warfa’nii, warzuqnii, wahdinii (artinya: Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, tinggikanlah derajatku, berilah rezeki dan petunjuk untukku).” (HR. Ahmad 1: 371. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa haditsnya hasan)
Sumber: https://rumaysho.com/7289-sifat-shalat-nabi-11-tentang-duduk-antara-dua-sujud.html
Bacaan 1:
Robbighfirlii warhamnii, wajburnii, warzuqnii, warfa’nii (HR. Ibnu Majah no.740, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
Bacaan 2:
Bacaan 2:
Allohummaghfirli warhamnii, wajburnii, wahdini, warzuqnii (HR. At Tirmidzi no.284, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Bacaan 3:
Bacaan 3:
Allahummaghfirlii warhamnii, wa’aafini, warzuqnii“ (dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib, 1562)
Bacaan 4:
Bacaan 4:
rabbighfirlii, rabbighfirlii (HR. An Nasai no. 1665, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i)
Sumber: https://muslim.or.id/44590-cara-duduk-di-antara-dua-sujud-dalam-shalat.html
“Rabbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’aafinii wa’fu’anni”
Sumber: https://muslim.or.id/44590-cara-duduk-di-antara-dua-sujud-dalam-shalat.html
“Rabbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’aafinii wa’fu’anni”
15. Tasyahud awal dan akhir
- Cara duduk
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas lantai.”(HR. Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226)
“Jika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam duduk (tasyahud), beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas pahanya yang kanan. Kemudian menggenggam semua jari tangan kanannya, kemudian berisyarat dengan jari telunjuk yang ada di sebelah jempol. Dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri.” (HR. Muslim no. 580)
- Isyarat Telunjuk ke Arah Kiblat
Dari hadis Ibnu Umar dan Wail bin Hujr radhiallahu’anhuma di atas, kita ketahui ada dua cara berisyarat dengan tangan kanan ketika tasyahud:
1. Menggenggam semua jari kecuali jari telunjuk yang mengarah ke kiblat, sebagaimana dalam hadis Ibnu Umar
2. Menggenggam jari kelingking dan jari manis, membentuk lingkaran dengan jari tengah dan jempol, dan jari telunjuk berisyarat ke kiblat.
“… beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang ada di sebelah jempol, ke arah kiblat, dan memandang jari tersebut.” (HR. Ibnu Hibban no. 1947, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Sifati salatin Nabi [3/838])
Para ulama khilaf mengenai kapan mulai berisyarat dengan jari telunjuk dalam beberapa pendapat:
Para ulama khilaf mengenai kapan mulai berisyarat dengan jari telunjuk dalam beberapa pendapat:
· Hanafiyah berpendapat bahwa dimulai sejak ucapan “laailaaha illallah”
· Malikiyyah berpendapat bahwa dimulai sejak awal tasyahud hingga akhir
· Syafi’iyyah berpendapat bahwa dimulai sejak “illallah”
· Hanabilah berpendapat bahwa dimulai sejak ada kata “Allah”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
“Yang sesuai sunnah dalam berisyarat dengan telunjuk itu, mengacungkan jari telunjuk sejak mulai duduk tasyahud awal dan akhir”.
“Yang sesuai sunnah dalam berisyarat dengan telunjuk itu, mengacungkan jari telunjuk sejak mulai duduk tasyahud awal dan akhir”.
- Bacaan Tasyahud
Ada tiga macam bacaan tasyahud yang sahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
Bacaan pertama
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu,
“Dahulu kami membaca tahiyyat dalam salat, menyebut nama Allah kemudian mengucapkan salam satu sama lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun mendengar hal tersebut lalu beliau mengatakan: Ucapkahlah
“At tahiyyaatu lillaah was shalawaatu wat thayyibaatu. As salaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warahmatullah wabarakaatuh. As salaamu ‘alainaa wa ‘ala ibaadillahis shaalihiin. Asyhadu an laailaaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan abduhu wara suuluh”
(Segala ucapan selamat, salawat, dan kebaikan hanya milik Allah. Mudah-mudahan salawat serta salam terlimpahkan kepadamu wahai engkau wahai Nabi beserta rahmat Allah dan berkah-Nya. Mudah-mudahan salawat dan salam terlimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya).” (HR. Bukhari no. 1202, Muslim no. 402)
Bacaan kedua
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan kepada kami bacaan tasyahud sebagaimana mengajarkan bacaan surat dalam Alquran, beliau mengucapkan:
“At tahiyaatu mubaarokaatu sholawaatu thoyyibaatu lillah, Assalamu ‘alaika ayyuhannabiyyu wa rohmatullahi wabarokaatuh, Assalamu’alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillahi shoolihiin, Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullah.”
(Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan hanya milik Allah. Mudah-mudahan shalawat dan salam terlimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan shalawat dan salam terlimpah pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya)ز” (HR. Muslim no. 403)
Bacaan ketiga
Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Jika kalian duduk (tasyahud) dalam salat, hendaknya yang pertama kali kalian baca adalah:
“At tahiyyat at thayyibat ash shalawaatu lillah, As salaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu wa rahmatullah wabarakatuh, As salaamu ‘alaina wa ‘alaa ibaadillahish shalihin. Asy-hadu an laa ilaaha illallah wa asy-hadu anna muhammadan rasuulullah”
(Segala penghormatan, kebaikan dan shalawat hanya milik Allah. Mudah-mudahan salam terlimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan salam terlimpah pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya).” (HR. Muslim no. 404)
Apakah Menggerak-gerakkan Jari Telunjuk?
Dalam hadis Wail bin Hujr radhiallahu’anhu, ia berkata:
“… kemudian beliau duduk dan membentangkan kaki kirinya. Beliau meletakkan tangan kiri di atas paha dan lutut kirinya. Dan memposisikan siku kanannya di atas paha kanannya. Kemudian beliau menggenggam dua jarinya (kelingking dan jari manis), dan membentuk lingkaran dengan dua jarinya (jempol dan jari tengah) dan berisyarat dengan jari telunjuknya dan aku melihat beliau menggerak-gerakkan telunjuknya ketika berdoa.” (HR. An Nasai no. 888, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasai)
Apakah Menggerak-gerakkan Jari Telunjuk?
Dalam hadis Wail bin Hujr radhiallahu’anhu, ia berkata:
“… kemudian beliau duduk dan membentangkan kaki kirinya. Beliau meletakkan tangan kiri di atas paha dan lutut kirinya. Dan memposisikan siku kanannya di atas paha kanannya. Kemudian beliau menggenggam dua jarinya (kelingking dan jari manis), dan membentuk lingkaran dengan dua jarinya (jempol dan jari tengah) dan berisyarat dengan jari telunjuknya dan aku melihat beliau menggerak-gerakkan telunjuknya ketika berdoa.” (HR. An Nasai no. 888, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasai)
Sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan ketika tasyahud.
- Cara Duduk Tasyahud Jika Satu Tasyahud
Para ulama berbeda pendapat (khilaf) mengenai cara duduk tasyahud akhir jika di dalam salat hanya ada satu tasyahud. Karena dalam hadis Abu Humaid di atas, terdapat isyarat bahwa Nabi duduk iftirasy pada rakaat kedua, sedangkan dalam riwayat Abu Daud dipahami bahwa duduk tawarruk adalah duduk tasyahud di rakaat terakhir. Padahal jika salat hanya dua rakaat maka duduk tasyahud ketika itu adalah tasyahud di rakaat kedua sekaligus di rakaat terakhir.
Para ulama khilaf dalam dua pendapat:
Pendapat pertama, duduk dengan cara tawarruk. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah. Dalil mereka adalah riwayat Abu Humaid yang terdapat lafadz:
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika sudah sampai pada rakaat terakhir salat, beliau menjulurkan kaki kirinya dan duduk langsung di lantai dalam keadaan tawarruk, kemudian salam”
Pendapat kedua: duduk dengan cara iftirasy. Ini adalah pendapat Hanabilah dan Hanafiyah, juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Dalilnya hadis Abu Humaid riwayat Bukhari – Muslim di atas:
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan”
Pendapat kedua: duduk dengan cara iftirasy. Ini adalah pendapat Hanabilah dan Hanafiyah, juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Dalilnya hadis Abu Humaid riwayat Bukhari – Muslim di atas:
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan”
- Bacaan tasyahud akhir
“Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shalayta ‘ala aali Ibrahim, innaka hamiidum majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhamamd kamaa baarakta ‘ala aali Ibrahim, innaka hamiidum majid”
(Ya Allah semoga shalawat terlimpah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana shalawat terlimpah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim,Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.Ya Allah semoga keberkahan terlimpah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia)” (HR. Bukhari no. 6357, Muslim no. 406)
Sumber: https://muslim.or.id/44930-tata-cara-tasyahud-akhir-dalam-shalat.html
Sumber: https://muslim.or.id/44930-tata-cara-tasyahud-akhir-dalam-shalat.html
Ada juga riwayat Ibnu Hibban yang dishahihkan oleh al Albani berbunyi :
ALLOOHUMMA SHOLLI ‘ALAA MUHAMMAD, WA’ALAA AALI MUHAMMAD, KAMAA SHOLLAITA ‘ALAA IBROOHIIMA WA’ALAA AALI IBROOHIIMA WABAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA’ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALAA IBROOHIIMA WA’ALAA AALI IBROOHIIMA FIL’AALAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID
ALLOOHUMMA SHOLLI ‘ALAA MUHAMMAD, WA’ALAA AALI MUHAMMAD, KAMAA SHOLLAITA ‘ALAA IBROOHIIMA WA’ALAA AALI IBROOHIIMA WABAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA’ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALAA IBROOHIIMA WA’ALAA AALI IBROOHIIMA FIL’AALAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID
- Membaca Doa Perlindungan Dari Empat Hal
Setelah tasyahud akhir dan sebelum salam, dianjurkan membaca doa perlindungan dari empat hal. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian ber-tasyahud akhir, maka setelah itu mintalah perlindungan kepada Allah dari empat hal, ucapkanlah:
Setelah tasyahud akhir dan sebelum salam, dianjurkan membaca doa perlindungan dari empat hal. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian ber-tasyahud akhir, maka setelah itu mintalah perlindungan kepada Allah dari empat hal, ucapkanlah:
“Allahumma inni a’udzubika min ‘adzabi jahannam, wamin ‘adzabil qabri, wamin fitnatil mahyaa wal mamaat, wamin syarri fitnatil masiihid dajjaal”
(Ya Allah, aku memohon perlindunganMu dari neraka Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah orang yang hidup dan juga orang yang sudah mati, dan dari keburukan fitnah Al Masih Ad Dajjal).” (HR. Muslim no. 588)
16. Salam
- Hukum salam
Dan salam yang diwajibkan dan merupakan rukun shalat adalah salam yang pertama, yaitu salam ke kanan. An Nawawi rahimahullah mengatakan:
“Para ulama yang diakui pendapatnya telah ijma’ bahwa salam dalam shalat tidak wajib kecuali satu saja” (Syarah Shahih Muslim, 5/83)
Ulama khilaf mengenai hukum salam yang kedua menjadi dua pendapat:
“Para ulama yang diakui pendapatnya telah ijma’ bahwa salam dalam shalat tidak wajib kecuali satu saja” (Syarah Shahih Muslim, 5/83)
Ulama khilaf mengenai hukum salam yang kedua menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama: hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur ulama bahkan dinukil ijma dari sebagian ulama, sebagaimana nukilan dari An Nawawi di atas. Ijma juga dinukil oleh Ibnu Abdil Barr, Al Qurthubi, Ath Thahawi dan Ibnu Rajab
“Ibnu Umar pernah salam ke kanan hanya sekali saja.” (HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf, 2/222. Sanadnya shahih)
Pendapat kedua: hukumnya wajib. Ini pendapat Hanabilah. Dalil mereka adalah hadis dari Jabir bin Samurah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya cukup bagi kalian untuk meletakkan tangannya di atas pahanya kemudian salam kepada saudaranya ke kanan dan kirinya” (HR. Muslim no. 431)
- Cara Melakukan Salam
Salam dilakukan dengan menoleh ke kanan hingga pipi terlihat dari belakang kemudian menoleh ke kiri hingga pipi terlihat dari belakang, sambil mengucapkan salam. Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu:
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya salam ke kanan dan ke kirinya dengan ucapan: as salaamu ‘alaikum warahmatullah (ke kanan), as salaamu ‘alaikum warahmatullah (ke kiri), hingga terlihat putihnya pipi beliau.” (HR. Abu Daud no. 996, Ibnu Majah no. 914, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
- Bacaan salam
- Bacaan salam
Pertama: assalamu’alaikum
Sebagaimana dalam hadis Aisyah radhiallahu’anha di atas.
Kedua: assalamu’alaikum warahmatullah
Sebagaimana hadis Ibnu Mas’ud di atas. Juga dalam riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika salam mengucapkan: assalamu’alaikum warahmatullah ke kanan dan assalamu’alaikum warahmatullah ke kiri” (HR. An Nasai no. 1319, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasai).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika salam mengucapkan: assalamu’alaikum warahmatullah ke kanan dan assalamu’alaikum warahmatullah ke kiri” (HR. An Nasai no. 1319, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasai).
Ketiga: assalamu’alaikum warahmatullah ke kanan dan as salamu’alaikum ke kiri
Sebagaimana riwayat lain dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu, dari Wasi’ bin Hibban ia berkata:
Aku berkata kepada Ibnu Umar: kabarkan kepadaku bagaimana cara shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Maka Ibnu Umar menceritakan tentang takbir, lalu beliau menceritakan tentang salam. Beliau menyebutkan bahwa salam Nabi adalah assalamu’alaikum warahmatullah ke kanan dan assalamu’alaikum ke kiri” (HR. An Nasai no. 1320, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasai)
Sumber: https://muslim.or.id/44785-cara-salam-di-akhir-shalat.html
Sumber: https://muslim.or.id/44785-cara-salam-di-akhir-shalat.html