Bismillah...
Apa hukum sesajen dan makan sesajen??
Ritual mempersembahkan
sesaji kepada makhuk halus/jin yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa
tempat keramat tertentu adalah kebiasaan syirik (menyekutukan AllahSubhanahu wa
Ta’ala dengan makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat.
Mereka meyakini makhluk halus tersebut punya kemampuan untuk memberikan
kebaikan atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan
mempersembahkan sesajen tersebut mereka berharap dapat meredam kemarahan
makhluk halus itu dan agar segala permohonan mereka dipenuhinya.
Sesajen merupakan
warisan budaya Hindu-Budha yang biasa digunakan untuk menyembah dewa. Sedangkan
dalam islam tidak mengenal dewa, melainkan Allah dan malaikat. Selain itu,
dalam islam yang ada adalah qurban yang hanya diperuntukkan fakir miskin dengan
harapan memperoleh ridho Allah bukan untuk meminta perlindungan dari selain
Allah.
Sesajen bukan pula
shodaqoh. Shodaqoh bisa dilaksanakan kapanpun, sedangkan sesajen dilaksanakan
pada waktu-waktu tertentu.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hukum sesajen bagi umat muslim adalah haram.
Dalil-dalilnya:
Firman Allah subhanahu
wa ta’ala yang artinya:
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka [508]. Amat buruklah ketetapan mereka itu. ( QS.Al An’am : 136 )
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka [508]. Amat buruklah ketetapan mereka itu. ( QS.Al An’am : 136 )
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (Qs. al-Baqarah: 173)
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,:“Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.”
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (Qs. al-Baqarah: 173)
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,:“Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.”
Oleh karena itu, maka
mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (baik itu
jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan
diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah sesajen, adalah perbuatan dosa yang
sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan
pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir).
“Sesungguhnya, Allah
tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang sangat besar.” (Qs an-Nisaa’: 48).
Hukum Makan Sesajen
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa sesajen adalah makanan atau bunga-bungaan
yang dipersembahkan pada makhluk halus. Kebiasaan masyarakat yang
terpengaruh ajaran Animisme, dengan memberikan makanan sesajen yang
dipersembahkan pada mahkluq halus, yang menurut kepercayaan mereka
menjadi penunggu pohon, batu atau tempat-tempat tertentu.
Bagaimana hukum makanan sesajen tersebut? Jawabannya bahwa hukum makanan sesajen harus dirinci terlebih dahulu:
Bagaimana hukum makanan sesajen tersebut? Jawabannya bahwa hukum makanan sesajen harus dirinci terlebih dahulu:
Perrtama: Jika makanan sesajen itu berupa daging dari sembelihan yang dipersembahkan selain Allah, seperti daging ayam, daging kambing, daging sapi, yang ketika disembelih diniatkan untuk jin penunggu pohon yang dikramatkan, atau diniatkan untuk nyi Roro Kidul, jelas daging semacam ini hukumnya haram.
Ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala:
نَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Baqarah: 173)
Ahalla artinya bersuara keras. Orang-orang dahulu tatkala melihat bulan sabit yang muncul di awal bulan, mereka berteriak dan bersuara. Maka, akhirnya bulan sabit disebut dengan hilal, karena kemunculannya selalu diiringi dengan suara-suara manusia yang menyambutnya.
Begitu juga bayi yang baru lahir kemudian menangis, disebut dengan Istahalla ash-shobiyyu, karena ketika lahir bayi tersebut mengeluarkan suara tangisan.
Maka yang dimaksud dengan wama uhilla bihi li ghairillah pada ayat di atas adalah apa-apa dari binatang ternak, yang ketika disembelih disebut nama selain Allah atau dipersembahkan kepada selain Allah. Ini berlaku hanya khusus pada binatang yang disembelih.
Kedua: Jika makanan sesajen itu berupa buah-buahan, seperti pisang, mangga, jeruk, atau berupa makanan lainnya, seperti nasi, tahu, tempe, selain daging dari hewan yang disembelih untuk selain Allah, maka hukumnya boleh dimakan, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya dan tidak termasuk dalam katagori sesuatu yang dipersembahkan selain Allah.
Syekh Abdul Aziz bin Baz, mantan Mufti Saudi Arabia, pernah berpendapat bahwa makanan yang dipersembahkan kepada selain Allah, selain daging hasil sembelihan, boleh dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Bahkan, beliau membolehkan mengambil binatang-binatang ternak yang belum disembelih, jika memang sudah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Ahalla artinya bersuara keras. Orang-orang dahulu tatkala melihat bulan sabit yang muncul di awal bulan, mereka berteriak dan bersuara. Maka, akhirnya bulan sabit disebut dengan hilal, karena kemunculannya selalu diiringi dengan suara-suara manusia yang menyambutnya.
Begitu juga bayi yang baru lahir kemudian menangis, disebut dengan Istahalla ash-shobiyyu, karena ketika lahir bayi tersebut mengeluarkan suara tangisan.
Maka yang dimaksud dengan wama uhilla bihi li ghairillah pada ayat di atas adalah apa-apa dari binatang ternak, yang ketika disembelih disebut nama selain Allah atau dipersembahkan kepada selain Allah. Ini berlaku hanya khusus pada binatang yang disembelih.
Kedua: Jika makanan sesajen itu berupa buah-buahan, seperti pisang, mangga, jeruk, atau berupa makanan lainnya, seperti nasi, tahu, tempe, selain daging dari hewan yang disembelih untuk selain Allah, maka hukumnya boleh dimakan, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya dan tidak termasuk dalam katagori sesuatu yang dipersembahkan selain Allah.
Syekh Abdul Aziz bin Baz, mantan Mufti Saudi Arabia, pernah berpendapat bahwa makanan yang dipersembahkan kepada selain Allah, selain daging hasil sembelihan, boleh dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Bahkan, beliau membolehkan mengambil binatang-binatang ternak yang belum disembelih, jika memang sudah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Hukum
Makanan Dalam Acara Hari Kematian
Jika makanan tersebut berupa buah-buahan, nasi dan lauk pauknya serta tidak ada dagingnya, maka hukumnya halal karena tidak dalil yang mengharamkan.
Jika makanan tersebut
berupa daging sembelihan, maka dirinci juga: jika diniatkan karena Allah,
hukumnya halal. Karena, daging tersebut tidak dipersembahkan kepada selain
Allah, melainkan hanya untuk menghormati tamu yang datang pada acara tersebut,
dan ini yang sering diakui oleh orang-orang yang punya hajat dalam acara
tersebut. Tetapi, jika benar-benar ada sebagian daging yang ketika menyembelih
meniatkan untuk arwah orang yang meninggal, maka status daging tersebut menjadi
haram.
Pertanyaannya: Bukankah acara memperingati kematian seseorang tersebut tidak ada tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah orang yang memakan makanan yang disuguhkan berarti telah menyetujui dan mendukung acara yang tidak ada tuntunannya, berarti hukumnya haram memakan makanan tersebut?
Pertanyaannya: Bukankah acara memperingati kematian seseorang tersebut tidak ada tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah orang yang memakan makanan yang disuguhkan berarti telah menyetujui dan mendukung acara yang tidak ada tuntunannya, berarti hukumnya haram memakan makanan tersebut?
Jawabannya :
Pertama: Tidak semua orang yang ikut makan setuju dengan acara tersebut, karena terkadang dia hanya mendapat kiriman makanan dari tetangganya, walaupun dia tidak ikut acara tersebut. Bahkan, barangkali dia menentang acara tersebut.
Apakah makanan
tersebut dikembalikan lagi atau diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan?
Ini tergantung pada keadaan masyarakat yang menjadi obyek dakwah.
Kedua: Harus dibedakan antara dzat makanan yang pada
dasarnya halal, dengan sebuah acara bid’ah yang tidak ada tuntunannya dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keduanya tidak saling terkait.
Bukankah anda tidak setuju dengan orang Jepang yang menyembah matahari atau
tidak beragama, tetapi tetap saja anda membeli mobil yang diproduksinya? Apakah
membeli mobil yang diproduksi orang kafir, berarti kita setuju dengan kekafiran
mereka? Tentu saja tidak ada kelaziman antara keduanya.
Bagaimana Hukum Makanan dari Perayaan Natalan?
Bagaimana Hukum Makanan dari Perayaan Natalan?
Jika makanan tersebut
bukan masuk dalam katagori ritual agama mereka atau bukan dipersembahkan kepada
selain Allah yang berupa daging dan sejenisnya, maka dikembalikan kepada hukum
asalnya yaitu halal. Karena makanan tersebut kebanyakan disuguhkan untuk
orang-orang yang datang ke gereja, bukan bagian dari ritual itu sendiri.
Jika makanan itu
berupa daging yang dipersembahkan kepada selain Allah, maka hukumnya haram.
Di dalam Mushonnaf Abdurrozaq disebutkan bahwa :
أَنَّ اِمْرَأَةً سَأَلَتْ عَائِشَةَ، قَالَتْ:
إِنَّ لَنَا أظآرا مِنَ الْمَجُوْسِ، وَإِنَّهُ يَكُوْنُ لَهُمْ الْعِيْدُ
فَيَهْدُوْنَ لَنَا؟ قَالَتْ: أَمَّا مَا ذُبِحَ لِذَلِكَ الْيَوْم فَلَا
تَأْكُلُوْا، وَلَكِنْ كُلُوْا مِنْ أَشْجَارِهِمْ.
“Suatu ketika seorang
perempuan bertanya kepada Aisyah, seraya berkata: “kami mempunyai teman
orang-orang Majusi, mereka mempunyai hari raya, dimana pada hari itu biasa
mereka memberikan hadiah kepada kami? Berkata Aisyah: “Adapun daging dari
sembelihan pada hari itu (yang dipersembahkan selain Allah), maka janganlah
kalian makan, tetapi makanlah yang berasal dari pohon-pohon mereka (yang bukan
sembelihan)“
عَنْ أَبِيْ بَرْزَةَ: أَنَّهُ كَانَ لَهُ
سُكَّانٌ مَجُوْسٌ، فَكَانُوا يَهْدُوْنَ لَهُ فِي النَّيْرُوْزِ
وَالْمَهَرْجَانَ، فَكَانَ يَقُوْلُ لِأَهْلِهِ: مَا كَانَ مِنْ فَاكِهَةٍ
فَكُلُوْهُ، وَمَا كَانَ مِنْ غَيْرِ ذَلِكَ فَرَدُّوْهُ.
Dari Abu Barzah,
beliau mempunyai tetangga orang-orang Majusi, pada hari raya mereka, yaitu
Nairuz dan Maharjan, mereka memberikan hadiah kepadanya, maka beliau menasihati
keluarganya: “Yang berupa buah-buahan maka, makanlah, selain itu
kembalikan kepada mereka.“
Berkata Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho Shirathol Mustaqim, hal: 250, menanggapi dua atsar di atas: “Ini semuanya menunjukkan bahwa tidak ada pengaruhnya dalam hari raya mereka untuk menerima hadiah dari mereka, bahkan (menerima hadiah) pada waktu hari raya atau di luar hari raya adalah hukumnya sama. Karena menerima hadiah dari mereka tidak termasuk dalam membantu penyebaran syiar kekafiran mereka…Makanya dibolehkan memakan makanan (sembelihan) dari Ahli Kitab dalam hari raya mereka dengan cara jual beli atau pemberian hadiah atau dengan cara-cara yang lain selama mereka tidak menyembelihnya demi ritual hari raya tersebut.”
Berkata Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho Shirathol Mustaqim, hal: 250, menanggapi dua atsar di atas: “Ini semuanya menunjukkan bahwa tidak ada pengaruhnya dalam hari raya mereka untuk menerima hadiah dari mereka, bahkan (menerima hadiah) pada waktu hari raya atau di luar hari raya adalah hukumnya sama. Karena menerima hadiah dari mereka tidak termasuk dalam membantu penyebaran syiar kekafiran mereka…Makanya dibolehkan memakan makanan (sembelihan) dari Ahli Kitab dalam hari raya mereka dengan cara jual beli atau pemberian hadiah atau dengan cara-cara yang lain selama mereka tidak menyembelihnya demi ritual hari raya tersebut.”
Sumber:
- http://albumpuisirindu.blogspot.com
- http://www.ahmadzain.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar