THAHARAH DAN CARA MENSUCIKAN NAJIS
Dalam pandangan syara', najis adalah nama bagi benda yang kotor. Najis (an-najaasah) adalah lawan kata dari ath-thahaarah.
Najis terbagi menjadi 3 jenis, yaitu najis mukhaffafah, mutawassithah, dan mughaladhah
Adapun, yang termasuk di dalamnya adalah air kencing bayi laki-laki yang belum berusia 2 tahun yang hanya meminum air susu ibunya. Cara menyucikannya cukup dengan memercikkan air mutlak pada bagian yang terkena najis.
Sedangkan, najis mutawassithah memiliki tingkatan sedang. Adapun, yang termasuk kelompok ini adalah kotoran manusia dan hewan, nanah, darah, bangkai, dan lain-lain. Cara menghilangkannya cukup dengan menyiram dengan air mutlak pada bagian yang terkena najis hingga hilang rasa, bau, dan warnanya.
Najis dengan tingkatan paling berat adalah najis mughaladhah. Menurut kesepakatan ulama, yang tergolong najis jenis ini adalah najis yang bersumber dari anjing dan babi. Seperti air liurnya. Untuk menyucikannya dengan menghilangkan wujud dari najis tersebut. Bagaimana caranya?
Berdasarkan hadits riwayat Muslim, untuk menghilangkan najis dari anjing adalah dengan menggunakan debu dan air mutlak yang disiramkan sebanyak 7 kali. Untuk debu digunakan pada cucian pertama atau terakhir saja.
Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِى التُّرَابِ
Artinya: "Ketika anjing menjilat bejana, maka basuhlah tujuh kali dengan dicampuri debu pada awal pembasuhannya." (HR. Muslim).
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda: "Sucinya bejana kalian semua ketika dijilat anjing adalah dengan dibasuh tujuh kali, yang pertama dicampuri oleh debu." (HR. Muslim).
Dijelaskan dalam kitab fiqih Kifayatul Akhyar dan al Muhadzdzab sebagaimana diterangkan oleh M.Syukron Maksum dalam bukunya Batalkah Jika Melihat Sarung Imam yang Bolong, cara menghilangkan najis ini dengan membasuh tempat yang terkena najis dengan tujuh kali basuhan, salah satunya dicampur dengan debu atau tanah.
Lantas, bolehkah mengganti debu atau tanah dengan benda lain seperti sabun?
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait mengganti debu atau tanah dengan sabun. Pertama, sabun tersebut bisa menggantikan posisi debu atau tanah (bisa dibuat campuran) sebagaimana batu dalam istinja bisa diganti dengan benda yang sepadan.
Kedua, sabun tersebut tidak bisa menggantikan posisi debu sebagaimana tidak bisanya mengganti debu atau tanah dengan benda lain dalam tayamum.
Ketiga, apabila masih ada debu atau tanah, maka yang lain tidak bisa menggantikan posisinya. Sedangkan, apabila tidak ada debu atau tanah maka sabun bisa digunakan untuk menghilangkan najis anjing.
Air Suci dan Menyucikan
Air suci dan menyucikan artinya dzat air tersebut suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Air ini oleh para ulama fiqih disebut dengan air mutlak. Menurut Ibnu Qasim Al-Ghazi ada 7 (tujuh) macam air yang termasuk dalam kategori ini. Beliau mengatakan:
“Air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju, dan air dari hasil hujan es.“
Secara ringkas air mutlak adalah air yang turun dari langit atau yang bersumber dari bumi dengan sifat asli penciptaannya.
Air Musyammas
Air musyammas adalah air yang dipanaskan di bawah terik sinar matahari dengan menggunakan wadah yang terbuat dari logam selain emas dan perak, seperti besi atau tembaga.
Air ini hukumnya suci dan menyucikan, hanya saja makruh bila dipakai untuk bersuci. Secara umum air ini juga makruh digunakan bila pada anggota badan manusia atau hewan yang bisa terkena kusta seperti kuda, namun tak mengapa bila dipakai untuk mencuci pakaian atau lainnya. Meski demikian air ini tidak lagi makruh dipakai bersuci apabila telah dingin kembali.
Air Suci Namun Tidak Menyucikan
Air ini dzatnya suci namun tidak bisa dipakai untuk bersuci, baik untuk bersuci dari hadas maupun dari najis. Ada dua macam air yang suci namun tidak bisa digunakan untuk bersuci, yakni air musta’mal dan air mutaghayar.
Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci baik untuk menghilangkan hadas seperti wudlu dan mandi ataupun untuk menghilangkan najis bila air tersebut tidak berubah dan tidak bertambah volumenya setelah terpisah dari air yang terserap oleh barang yang dibasuh. Air musta’mal ini tidak bisa digunakan untuk bersuci apabila tidak mencapai dua qullah. Sedangkan bila volume air tersebut mencapai dua qullah maka tidak disebut sebagai air musta’mal dan bisa digunakan untuk bersuci.
Sebagai contoh kasus bila di sebuah masjid terdapat sebuah bak air dengan ukuran 2 x 2 meter persegi umpamanya, dan bak itu penuh dengan air, lalu setiap orang berwudlu dengan langsung memasukkan anggota badannya ke dalam air di bak tersebut, bukan dengan menciduknya, maka air yang masih berada di bak tersebut masih dihukumi suci dan menyucikan. Namun bila volume airnya kurang dari dua qullah, meskipun ukuran bak airnya cukup besar, maka air tersebut menjadi musta’mal dan tidak bisa dipakai untuk bersuci. Hanya saja dzat air tersebut masih dihukumi suci sehingga masih bisa digunakan untuk keperluan lain selain menghilangkan hadas dan najis.
Juga perlu diketahui bahwa air yang menjadi musta’mal adalah air yang dipakai untuk bersuci yang wajib hukumnya. Sebagai contoh air yang dipakai untuk berwudlu bukan dalam rangka menghilangkan hadas kecil, tapi hanya untuk memperbarui wudlu (tajdidul wudlu) tidak menjadi musta’mal. Sebab orang yang memperbarui wudlu sesungguhnya tidak wajib berwudlu ketika hendak shalat karena pada dasarnya ia masih dalam keadaan suci tidak berhadas.
Sebagai contoh pula, air yang dipakai untuk basuhan pertama pada anggota badan saat berwudlu menjadi musta’mal karena basuhan pertama hukumnya wajib. Sedangkan air yang dipakai untuk basuhan kedua dan ketiga tidak menjadi musta’mal karena basuhan kedua dan ketiga hukumnya sunah. Adapun air mutaghayar adalah air yang mengalami perubahan salah satu sifatnya disebabkan tercampur dengan barang suci yang lain dengan perubahan yang menghilangkan kemutlakan nama air tersebut.
Sebagai contoh air mata air yang masih asli ia disebut air mutlak dengan nama air mata air. Ketika air ini dicampur dengan teh sehingga terjadi perubahan pada sifat-sifatnya maka orang akan mengatakan air itu sebagai air teh. Perubahan nama inilah yang menjadikan air mata air kehilangan kemutlakannya. Contoh lainnya, air hujan yang dimasak tetap pada kemutlakannya sebagai air hujan. Ketika ia dicampur dengan susu sehingga terjadi perubahan pada sifat-sifatnya maka air hujan itu kehilangan kemutlakannya dengan berubah nama menjadi air susu. Air yang demikian itu tetap suci dzatnya namun tidak bisa dipakai untuk bersuci.
Lalu bagaimana dengan air mineral kemasan? Air mineral dalam kemasan itu masih tetap pada kemutlakannya karena tidak ada pencampuran barang suci yang menjadikannya mengalami perubahan pada sifat-sifatnya. Adapun penamaannya dengan berbagai macam nama itu hanyalah nama merek dagang yang tidak berpengaruh pada kemutlakan airnya.
Air Mutanajis
Air mutanajis adalah air yang terkena barang najis yang volumenya kurang dari dua qullah atau volumenya mencapai dua qullah atau lebih namun berubah salah satu sifatnya—warna, bau, atau rasa—karena terkena najis tersebut.
Air sedikit apabila terkena najis maka secara otomatis air tersebut menjadi mutanajis meskipun tidak ada sifatnya yang berubah. Sedangkan air banyak bila terkena najis tidak menjadi mutanajis bila ia tetap pada kemutlakannya, tidak ada sifat yang berubah.
Adapun bila karena terkena najis ada satu atau lebih sifatnya yang berubah maka air banyak tersebut menjadi air mutanajis. Air mutanajis ini tidak bisa digunakan untuk bersuci, karena dzatnya air itu sendiri tidak suci sehingga tidak bisa dipakai untuk menyucikan.Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)
Air sedikit dan air banyak
Di dalam kajian fiqih air yang volumenya tidak mencapai dua qullah disebut dengan air sedikit. Sedangkan air yang volumenya mencapai dua qullah atau lebih disebut air banyak.
Lalu apa batasan volume air bisa dianggap mencapai dua qullah atau tidak?
Para ulama madzhab Syafi’i menyatakan bahwa air dianggap banyak atau mencapai dua qullah apabila volumenya mencapai kurang lebih 192,857 kg. Bila melihat wadahnya volume air dua qullah adalah bila air memenuhi wadah dengan ukuran lebar, panjang dan dalam masing-masing satu dzira’ atau kurang lebih 60 cm (lihat Dr. Musthofa Al-Khin dkk, Al-Fiqh Al-Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013), jil. 1, hal. 34)
Sumber:
https://news.detik.com/berita/d-5629109/tata-cara-menghilangkan-najis-dari-anjing
https://jabar.nu.or.id/syariah/macam-macam-air-dan-hukumnya-untuk-bersuci-0DGDW