Rabu, 29 Juli 2015

Bahaya Kebiasaan Berhutang

Bahaya Kebiasaan Berhutang

Islam adalah agama yang mulia. Islam telah mengatur seluruh permasalahan di dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya adalah permasalahan hutang-piutang. Islam tidak hanya membolehkan seseorang berhutang kepada orang lain, tetapi Islam juga mengatur adab-adab dan aturan-aturan dalam berhutang.

Hukum Berhutang
Hukum asal dari berhutang adalah boleh (jaa-iz). Allah subhaanahu wa ta’aala menyebutkan sebagian adab berhutang di dalam Al-Qur’an. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ 
Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian ber-mu’aamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS Al-Baqarah: 282)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berhutang. Di akhir hayat beliau, beliau masih memiliki hutang kepada seorang Yahudi, dan hutang beliau dibayarkan dengan baju besi yang digadaikan kepada orang tersebut.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu’anhaa, bahwasanya dia berkata:
 “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya” (HR Al-Bukhari no. 2200)
Kebiasaan Sering Berhutang
Akan tetapi, banyak kaum muslimin yang menganggap remeh hal ini. Mereka merasa nyaman dengan adanya hutang yang “melilit’ dirinya. Bahkan, sebagian dari mereka di dalam hidupnya tidak pernah sedetik pun ingin lepas dari hutang. Sebelum lunas pinjaman yang pertama, maka dia ingin meminjam lagi untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Jika hal ini dibiarkan, maka ini akan berlarut-larut dan akan “menular” kepada orang lain di sekitarnya. Terlebih lagi, dengan banyaknya fasilitas untuk berhutang yang disediakan oleh lembaga-lembaga, badan-badan atau perusahaan-perusahaan yang menganut sistem ribawi. Dan parahnya, tidak hanya orang-orang awam yang terlibat dengan hal-hal seperti ini, orang yang sudah lama mengaji, orang berilmu dan orang-orang kaya pun turut berpartisipasi dalam “meramaikannya”. Na’uudzu billaahi min dzaalika.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat takut berhutang dan sangat takut jika hal tersebut menjadi kebiasaannya. Mengapa demikian?
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu ‘anhaa, bahwasanya dia mengabarkan, “Dulu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa di shalatnya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِاللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ)
Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berhutang
Berkatalah seseorang kepada beliau:
مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ )
Betapa sering engkau berlindung dari hutang?
Beliau pun menjawab:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَحَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. )
Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berhutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya” (HR Al-Bukhaari no. 832 dan Muslim no. 1325/589)
Perlu dipahami bahwa berhutang bukanlah suatu perbuatan dosa sebagaimana telah disebutkan. Tetapi, seseorang yang terbiasa berhutang bisa saja mengantarkannya kepada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wa ta’aala. Pada hadits di atas disebutkan dua dosa akibat dari kebiasaan berhutang, yaitu: berdusta dan menyelisihi janji. Keduanya adalah dosa besar bukan?
Mungkin kita pernah menemukan orang-orang yang sering berhutang dan dililit oleh hutangnya. Apa yang menjadi kebiasaannya? Bukankan orang tersebut suka berdusta, menipu dan mengingkari janjinya? Allaahumma innaa na’udzu bika min dzaalika.

Memberi Jaminan Ketika Berhutang
Mungkin di antara pembaca ada yang mengatakan, “Bukankan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri berhutang?”
Ya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhutang karena sangat membutuhkan hal tersebut pada saat itu. Coba kita perhatikan dengan seksama hadiits yang telah disebutkan. Bukankan yang dihutangi oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah makanan? Jika benar-benar memiliki kebutuhan, maka hal tersebut bukanlah sesuatu yang tercela.
Tetapi perlu diingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hal yang mulia ketika beliau berhutang. Apakah hal yang mulia tersebut? Beliau menggadaikan baju besinya sebagai jaminan. Apabila beliau tidak mampu membayarnya, maka baju besi itulah yang menjadi pembayarannya.
Begitulah seharusnya yang kita lakukan ketika berhutang. Kita harus memiliki jaminan dalam berhutang. Jaminan-jaminan tersebut bisa berupa:
1.      Harta yang dimiliki
Misalkan seseorang ingin membeli motor, dia memiliki uang di simpanannya sebanyak Rp 15 juta. Uang tersebut tidak berani dia keluarkan, karena menjadi simpanan usahanya yang harus di sisakan di simpanan bisnisnya, untuk berjaga-jaga dalam permodalan atau karena hal-hal lain. Kemudian orang tersebut membeli motor dengan kredit seharga Rp 15 juta kepada seseorang dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Hal seperti ini tidak tercela, karena seandainya dia meninggal, maka dia memiliki jaminan harta yang ada di simpanannya.
2.      Menggadaikan barang (Ar-Rahn)
Hal ini telah dijelaskan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah
 shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
3.      Mengalihkan hutang kepada piutang yang dimiliki (Al-Hawaalah/Al-Hiwaalah)
Misalkan si A memiliki piutang (orang lain [si B] berhutang kepadanya) sebesar Rp 5 juta, kemudian orang tersebut ingin berhutang kepada si C sebesar Rp 5 juta. Si A mengatakan kepada si C, “Bagaimana menurutmu jika piutangku pada si B menjadi jaminan hutang ini.” Kemudian si C pun menyetujuinya. Maka hal tersebut juga tidak tercela dan pengalihan seperti ini diperbolehkan di dalam Islam. Seandainya si A meninggal, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab si B untuk membayarkannya kepada si C.
4.      Mencari penanggung jawab atas hutang yang dimiliki (Al-Kafaalah)
Misalkan seseorang membutuhkan biaya yang sangat besar secara mendadak, seperti: biaya operasi yang diakibatkan oleh kecelakaan. Orang tersebut tidak memiliki uang atau harta sebagai jaminannya. Pihak rumah sakit meminta orang tersebut mencari seorang penanggung jawab (
kafil) atas hutangnya tersebut. Seandainya orang tersebut kabur atau meninggal dunia, maka penanggung jawabnyalah yang membayarkan hutangnya kepada rumah sakit. Hal ini diperbolehkan dengan syarat penanggung jawab tersebut mampu untuk membayarkan hutangnya atau mampu mendatangkan orang yang berhutang tersebut apabila dia kabur.
Keburukan Jika Hutang Tidak Sempat Dilunasi
Jika tidak memiliki jaminan-jaminan yang telah disebutkan di atas, sebaiknya jangan membiasakan diri untuk berhutang. Karena orang yang meninggal sedangkan dia memiliki tanggungan hutang, maka dia akan mendapatkan banyak keburukan. Setidaknya penulis sebutkan tiga keburukan pada tulisan ini.
Keburukan pertama: Tidak dishalati oleh tokoh-tokoh agama dan masyarakat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menshalati jenazah yang memiliki hutang.
Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallaahu ‘anhu, dia berkata, “Dulu kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian didatangkanlah seorang jenazah. Orang-orang yang membawa jenazah itu pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian beliau pun menshalatinya. Kemudian didatangkan lagi jenazah yang lain. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ya.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.Kemudian didatangkanlah jenazah yang ketiga. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Beliau pun berkata, ‘Shalatlah kalian kepada sahabat kalian!Kemudian Abu Qatadah pun berkata, ‘Shalatilah dia! Ya Rasulullah! Hutangnya menjadi tanggung jawabku.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2289)
Hadits di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalati orang yang punya hutang. Hal ini sebagai bentuk pengajaran beliau bahwa membiasakan diri untuk berhutang sedangkan dia tidak memiliki jaminan adalah sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang-orang terpandang, tokoh masyarakat dan agama melakukan hal seperti ini ketika ada orang yang meninggal dan dia memiliki tanggungan hutang.
Keburukan kedua: Dosa-dosanya tidak akan diampuni sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya
Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiallaahu ‘anhu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ ؟)
Bagaimana menurutmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan diampuni?
Beliau pun menjawab:
نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ )
Ya, dengan syarat engkau sabar, mengharapkan ganjarannya, maju berperang dan tidak melarikan diri, kecuali hutang. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam baru memberitahuku hal tersebut” (HR Muslim no. 4880/1885)
Hadits di atas menjelaskan bahwa ibadah apapun, bahkan yang paling afdhal sekalipun yang merupakan hak Allah tidak bisa menggugurkan kewajiban untuk memenuhi hak orang lain.
Keburukan ketiga: Ditahan untuk tidak masuk surga, meskipun dia memiliki banyak amalan sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya
Diriwayatkan dari Tsauban, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍالْكِبْرِوَالْغُلُولِوَالدَّيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ )
Barang siapa yang mati sedangkan dia berlepas diri dari tiga hal, yaitu: kesombongan,ghuluul (mencuri harta rampasan perang sebelum dibagikan) dan hutang, maka dia akan masuk surga. (HR At-Tirmidzi no. 1572, Ibnu Majah no. 2412 dan yang lainnya. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Shahih” di Shahih Sunan Ibni Majah)
Nasehat Seputar Hutang
Oleh karena, sebelum mengakhiri tulisan ini, ada beberapa hal yang ingin penulis nasihatkan untuk diri penulis dan pembaca sekalian:
1.      Janganlah membiasakan diri untuk berhutang. Terutama berhutang yang tidak memiliki jaminan.
2.      Fasilitas untuk berkecimpung di dalam riba sangatlah banyak sekali di zaman ini. Oleh karena itu, janganlah kita biarkan diri kita berkecimpung di dalamnya! Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا ، وَمُوكِلَهُ ، وَشَاهِدَهُ ، وَكَاتِبَهُ.)
Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makan, saksi dan juru tulisnya” (HR Ahmad no. 3725. Syaikh Syu’aib mengatakan, “Shahih li ghairih.”)
3.      Apabila ingin berhutang, maka niatkanlah dengan hati yang jujur untuk segera melunasi hutang tersebut pada waktu yang telah dijanjikan. Insya Allah, Allah akan membantu pelunasannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ.)
Barang siapa meminjam harta manusia dan dia ingin membayarnya, maka Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang meminjamnya dan dia tidak ingin membayarnya, maka Allah akan menghilangkan harta tersebut darinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2387)
4.      Apabila telah sampai batas waktu yang telah ditentukan, maka segeralah membayar hutang tersebut dan jangan menunda-nundanya, terkecuali pada saat itu kita tidak memiliki harta untuk membayarnya. Orang yang memiliki harta untuk membayar hutangnya, tetapi dia sengaja memperlambat pembayarannya, maka dianggap sebagai suatu kezoliman/dosa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
 “Memperlambat pembayaran hutang untuk orang yang mampu membayarnya adalah kezaliman.” (HR Al-Bukhaari no. 2288 dan Muslim no. 4002/1564)
5.      Jika benar-benar tidak mampu membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan, maka bersegeralah meminta maaf kepada orang yang menghutangi dan minta tenggang waktu untuk membayarnya.
Demikian tulisan yang singkat ini. Mudahan bermanfaat untuk kita semua dan mohon perkenannya untuk menyampaikan kepada yang lain.

Penulis: Ustadz Sa’id Yai bin Imanul Huda Lc.
Artikel
 Muslim.Or.Id

Rabu, 01 Juli 2015

Antara Qadha dan Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Antara Qadha dan Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui

1. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah[2]:184)
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)

2. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).'” (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari majalah Al Furqon)

3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)
Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.


Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar qadha saja.
Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana kondisi pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di rahimahumallah

Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk membayar fidyah saja.
Dalil yang digunakan adalah yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” ( HR. Abu Dawud)
dan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunandari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih)
Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui hanya membayar fidyah adalah, 
“Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)
Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.
Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.

Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk mengqadha dengan disertai membayar fidyah
Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.
Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,
“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)
Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil). Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”
Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadhan.
Demikian pembahasan tentang qadha dan fidyah yang dapat kami bawakan. Semoga dapat menjadi landasan bagi kita untuk beramal. Adapun ketika ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, maka ketika saudari kita menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut melakukan suatu kesalahan.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan bagi para Ibu untuk tetap melaksanakan puasa ataupun ketika membayar puasa dan membayar fidyah tersebut di hari-hari lain sambil merawat para buah hati tercinta. Wallahu a’alam.
Maraji':
Majalah As Sunnah Edisi Khusus Tahun IX/1426H/2005M
Majalah Al Furqon Edisi 1 Tahun VII 1428/2008
Majalah Al Furqon Edisi Khusus Tahun VIII 1429/2008
Kajian Manhajus Salikin, 11 Desember 2006 bersama Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Panduan dan Koreksi Ibadah-Ibadah di Bulan Ramadhan, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu. Cet 1 2008
***
Artikel muslimah.or.id




Wanita hamil yang berbuka puasa menurut 4 Madzab

Mazhab Syafie:
·      Sekiranya berbuka puasa kerana bimbang terhadap diri mereka sahaja ataupun bimbang terhadap diri dan anak mereka sekali, maka wajib menqada puasa sahaja sama seperti mereka yang jatuh sakit.
·      *Diwajibkan juga membayar fidyah disebabkan anak . Namun, cukup dengan membayar satu fidyah walaupun mempunyai anak kecil yang ramai atau kembar.
Mazhab Hanafi :
·      Menurut beliau perempuan yang hamil dan menyususkan anak,hukumnya perlu menqadakan puasa sahaja .Samada orang yang hamil atau menyusui anak boleh meninggalkan puasa dan menqadakan serta tidak diwajibkan bagi keduanya membayar fidyah dan tanpa berturut-turut melakukan puasa di hari menqadakannya.
Mazhab Hanbali :
·      Diperbolehkan bagi wanita hamil untuk tidak berpuasa jika merasa khuatir ditimpa bahaya terhadap diri atau kandungannya. Tetapi, dikenakan menqada’nya tanpa perlu membayar fidyah.Jika merasa khawatir terhadap anaknya,maka diwajibkan qadha dan membayar fidyah.
Mazhab Maliki :
·      Apabila wanita hamil yang berbuka puasa kerana bimbang akan dirinya atau anaknya atau kedua-duannya dibolehkan untuk berbuka namun perlu menqadhakannya tanpa perlu berkewajipan membayar fidyah ,tapi,bagi wanita yang menyusui pula dikenakan fidyah.

RUJUKAN
ü  Amru Abdul Muin’im Salim,2005, Fikih Thalak Berdasarkan Al-quran dan Sunnah,Jakarta,Pustaka Azam.
ü  Muhammad Ibrahim Jannati,2007,Fiqih Perbandingan Lima Mazhab,Jakarta,Penerbit Cahaya.
ü  Muhammad Jawad Mughniyah,1996,Fiqih Lima Mazhab,Jakarta, PT Lentera Basritama.
ü  Al-Qadhi Abu Syuja’ Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahani,2011,Fiqh Sunnah Imam Syafie,Selangor,Al-Hidayah Publication
ü  Muhammad Ibrahim Jannati, 2007, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Jakarta, Majma’ al-Syahid al- shadr al- Iimi, cet .I, Qum, Iran.
ü  Hasbi Ash Shiddieqy, 1977, Pedoman Puasa, Jakarta, Bulan Bintang.
ü  Kadar M.Yusuf,2011, Tafsir Ayat Ahkam, Jakarta, Sinar Grafika, AMZAH saworoya.