Antara Qadha dan Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui
1. Untuk
Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Keadaan ini disamakan dengan orang
yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al
Baqarah[2]:184)
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu
Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak
mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena
keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)
2. Untuk
Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila
Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib
mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu
telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama
Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya
khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan
mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini
tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan
menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka
sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan
(di antara Syafi’iyyah).'” (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari majalah Al Furqon)
3 .Untuk
Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang
ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu
berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah,
namun telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan
percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa
berdasarkan diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya
seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)
Untuk kondisi ketiga ini, ulama
berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit
paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.
Dalil ulama
yang mewajibkan sang ibu untuk membayar qadha saja.
Dalil yang digunakan adalah sama
sebagaimana kondisi pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui
ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh
Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di rahimahumallah
Dalil ulama
yang mewajibkan sang Ibu untuk membayar fidyah saja.
Dalil yang digunakan adalah yaitu
perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui,
jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang
miskin.” ( HR. Abu Dawud)
dan
perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang seorang
wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan
gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.”
(al-Baihaqi dalam Sunandari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih)
Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan
dalil bahwa wanita hamil dan menyusui hanya membayar fidyah adalah,
“Dan wajib
bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah
(yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)
Hal ini disebabkan wanita hamil dan
menyusui yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup
dalam ayat ini.
Pendapat ini adalah termasuk
pendapat yang dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.
Dalil ulama
yang mewajibkan sang Ibu untuk mengqadha dengan disertai membayar fidyah
Dalil sang ibu wajib mengqadha
adalah sebagaimana dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi
orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki
kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena
tidak ada dalam syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu
mengerjakannya.
Sedangkan dalil pembayaran fidyah
adalah para ibu pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,
“…Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu)
memberi makan seorang miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)
Hal ini juga dikuatkan oleh
perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui,
jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang
miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil).
Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang
khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi
makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”
Adapun perkataan Ibnu Abbas dan
Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka
tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim
dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadhan.
—
Demikian pembahasan tentang qadha
dan fidyah yang dapat kami bawakan. Semoga dapat menjadi landasan bagi kita
untuk beramal. Adapun ketika ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, maka
ketika saudari kita menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda
dengan pendapat yang kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap
saudari kita tersebut melakukan suatu kesalahan.
Semoga Allah memberikan kesabaran
dan kekuatan bagi para Ibu untuk tetap melaksanakan puasa ataupun ketika
membayar puasa dan membayar fidyah tersebut di hari-hari lain sambil merawat
para buah hati tercinta. Wallahu a’alam.
Maraji':
Majalah As Sunnah Edisi Khusus Tahun IX/1426H/2005M
Majalah Al Furqon Edisi 1 Tahun VII 1428/2008
Majalah Al Furqon Edisi Khusus Tahun VIII 1429/2008
Kajian Manhajus Salikin, 11 Desember 2006 bersama Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Panduan dan Koreksi Ibadah-Ibadah di Bulan Ramadhan, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu. Cet 1 2008
Majalah As Sunnah Edisi Khusus Tahun IX/1426H/2005M
Majalah Al Furqon Edisi 1 Tahun VII 1428/2008
Majalah Al Furqon Edisi Khusus Tahun VIII 1429/2008
Kajian Manhajus Salikin, 11 Desember 2006 bersama Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Panduan dan Koreksi Ibadah-Ibadah di Bulan Ramadhan, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu. Cet 1 2008
***
Artikel muslimah.or.id
Wanita hamil yang berbuka puasa menurut 4 Madzab
Mazhab Syafie:
·
Sekiranya berbuka
puasa kerana bimbang terhadap diri mereka sahaja ataupun bimbang terhadap diri
dan anak mereka sekali, maka wajib menqada puasa sahaja sama seperti mereka
yang jatuh sakit.
·
*Diwajibkan juga
membayar fidyah disebabkan anak . Namun, cukup dengan membayar satu fidyah
walaupun mempunyai anak kecil yang ramai atau kembar.
Mazhab Hanafi :
·
Menurut beliau
perempuan yang hamil dan menyususkan anak,hukumnya perlu menqadakan puasa
sahaja .Samada orang yang hamil atau menyusui anak boleh meninggalkan puasa dan
menqadakan serta tidak diwajibkan bagi keduanya membayar fidyah dan tanpa
berturut-turut melakukan puasa di hari menqadakannya.
Mazhab Hanbali :
·
Diperbolehkan bagi
wanita hamil untuk tidak berpuasa jika merasa khuatir ditimpa bahaya terhadap diri
atau kandungannya. Tetapi, dikenakan menqada’nya tanpa perlu membayar
fidyah.Jika merasa khawatir terhadap anaknya,maka diwajibkan qadha dan membayar
fidyah.
Mazhab Maliki :
·
Apabila wanita hamil
yang berbuka puasa kerana bimbang akan dirinya atau anaknya atau kedua-duannya
dibolehkan untuk berbuka namun perlu menqadhakannya tanpa perlu berkewajipan
membayar fidyah ,tapi,bagi wanita yang menyusui pula dikenakan fidyah.
RUJUKAN
ü Amru Abdul Muin’im Salim,2005, Fikih Thalak
Berdasarkan Al-quran dan Sunnah,Jakarta,Pustaka Azam.
ü Muhammad Ibrahim Jannati,2007,Fiqih
Perbandingan Lima Mazhab,Jakarta,Penerbit Cahaya.
ü Muhammad Jawad Mughniyah,1996,Fiqih Lima
Mazhab,Jakarta, PT Lentera Basritama.
ü Al-Qadhi Abu Syuja’ Ahmad bin Al-Husain bin
Ahmad Al-Asfahani,2011,Fiqh Sunnah Imam Syafie,Selangor,Al-Hidayah Publication
ü Muhammad Ibrahim Jannati, 2007, Fiqih
Perbandingan Lima Mazhab, Jakarta, Majma’ al-Syahid al- shadr al- Iimi, cet .I,
Qum, Iran.
ü Hasbi Ash Shiddieqy, 1977, Pedoman Puasa,
Jakarta, Bulan Bintang.
ü Kadar M.Yusuf,2011, Tafsir Ayat Ahkam,
Jakarta, Sinar Grafika, AMZAH saworoya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar