Metode Penentuan Hilal bagi NU dan Muhammadiyah, Apa Bedanya?
1. NU dengan metode rukyatul hilal
Menurut NU, penentuan hilal atau awal bulan
Ramadan perlu didasarkan pada penglihatan dan pengamatan bulan secara langsung.
Metode ini yang kemudian dikenal dengan rukyatul hilal.
"Metodologi penentuan awal bulan Qamariah,
baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus
didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (rukyatul hilal bil
fi'ly)," bunyi keterangan dari laman NU.
Bulan yang dimaksud adalah bulan sabit muda sangat
tipis pada fase awal bulan baru. Bulan inilah yang disebut dengan hilal.
Pengamatan hilal tersebut dilakukan pada hari
ke-29 atau malam ke-30, dari bulan yang sedang berjalan. Bila malam tersebut
hilal sudah terlihat maka malam itu pula sudah dimulai bulan baru.
Sebaliknya, jika hilal tidak terlihat maka malam
itu adalah tanggal 30 bulan yang sedang berjalan. Malam berikutnya dimulai
tanggal satu bagi bulan baru atas dasar istikmal (digenapkan).
Pedoman dari penentuan hilal dengan metode ini
didasarkan oleh NU dari firman Allah SWT surat Al Baqarah ayat 189:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ
لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang bulan sabit. Katakanlah, 'Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan
(ibadah) haji,' ..."
Untuk melihat hilal, biasanya posisi bulan harus
berada dua derajat di atas matahari. Syarat lainnya adalah jarak elongasi dari
matahari ke arah kanan atau kiri. Semakin lebar maka makin mudah melihat hilal
langsung.
2. Muhammadiyah dengan metode hisab wujudul hilal
Di sisi lain, Muhammadiyah menggunakan metode
hisab atau perhitungan astronomis untuk menentukan awal Ramadan. Metode yang
digunakan Muhammadiyah ini bernama hisab hakiki wujudul hilal.
Metode ini meyakini adanya hilal meskipun tidak
terlihat dengan mata telanjang selama memenuhi kriteria tertentu. Tiga syarat
kriteria dalam penentuan hilal dengan metode ini di antaranya:
1. Telah terjadi ijtimak (konjungsi)
2. Ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum
matahari terbenam
3. Pada saat terbenamnya matahari piringan atas
bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud)
Semua kriteria tersebut harus terpenuhi untuk
menandakan dimulainya bulan baru. Apabila ada satu yang tidak terpenuhi maka
belum masuk bulan baru.
Dengan catatan, bila menggunakan metode hisab
hakiki kriteria ijtimak sebelum gurub (al-ijtima' qabla al-gurub), tidak perlu
lagi mempertimbangkan keberadaan bulan saat matahari terbenam di atas ufuk atau
bukan.
Misalnya, jika ijtimak terjadi sebelum matahari
tenggelam maka malam itu dan esok harinya sudah dapat dikatakan sebagai bulan
baru. Sebaliknya, jika ijtimak terjadi sesudah matahari terbenam maka malam itu
dan esok harinya masih merupakan hari penggenap bulan.
Baca juga:
Awal Puasa Ramadhan 2022 Bisa Beda, Bagaimana
Menyikapinya?
Dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah dijelaskan,
kriteria dalam metode hisab wujudul hilal dipahami berdasarkan firman Allah SWT
surat Yasin ayat 39-40,
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ
الْقَدِيمِ (39) لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ
سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (40)
Bacaan latin: 39. Wal-qamara qaddarnāhu manāzila ḥattā
'āda kal-'urjụnil-qadīm, 40. Lasy-syamsu yambagī lahā an tudrikal-qamara wa
lal-lailu sābiqun-nahār, wa kullun fī falakiy yasbaḥụn
Artinya: 39. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir)
kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. 40. Tidaklah mungkin bagi
matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan
masing-masing beredar pada garis edarnya.
Dengan dasar inilah para ulama yang paham
perhitungan hisab mengumpulkan pola peredaran bumi, bulan, dan matahari. Pola
tersebut menjadi dasar perhitungan penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri.
Sumber:
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6004987/metode-penentuan-hilal-bagi-nu-dan-muhammadiyah-apa-bedanya.