HUKUM SINGKATAN SAW DALAM ISLAM
Hukum menyingkat sholawat nabi yaitu SAW dan
singkatan-siangkatan lain terdapat perbedaan pendapat:
1)
Pendapat yang membolehkan
Diterbitkan pada 22 September 2013Klik:
20388
Tentunya semua orang
akan sepakat bahwa yang terbaik adalah tidak menyingkat lafal-lafal doa, akan
tetapi menuliskannya dengan sempurna. Sholawat kepada Nabi hendaknya ditulis
lengkap "Shallallahu 'alaihi wa sallam", demikian juga memberi salam
hendaknya ditulis dengan lengkap "Assalaamu'alaikum warahmatullaaahi wa
barokaatuhu".
Akan tetapi yang menimbulkan pernyataan, kita banyak mendapati kaum muslimin yang menyingkat-nyingkat doa-doa tersebut, tentunya sama sekali bukan dalam rangka meremehkan doa-doa tersebut, namun kemungkinan terbesar adalah demi menyingkat waktu dalam penulisan.
Toh kenyataannya kita dapati –dalam hal ucapan- tidak ada seorang muslimpun yang menyingkat doa. Setiap muslim tatkala memberi salam kepada saudaranya dengan ucapan maka iapun mengucapkannya dengan sempurna, demikian juga tatkala bersholawat kepada Nabi mengucapkan doa sholawat tersebut dengan sempurna.
Akan tetapi yang menimbulkan pernyataan, kita banyak mendapati kaum muslimin yang menyingkat-nyingkat doa-doa tersebut, tentunya sama sekali bukan dalam rangka meremehkan doa-doa tersebut, namun kemungkinan terbesar adalah demi menyingkat waktu dalam penulisan.
Toh kenyataannya kita dapati –dalam hal ucapan- tidak ada seorang muslimpun yang menyingkat doa. Setiap muslim tatkala memberi salam kepada saudaranya dengan ucapan maka iapun mengucapkannya dengan sempurna, demikian juga tatkala bersholawat kepada Nabi mengucapkan doa sholawat tersebut dengan sempurna.
Jika demikian
perkaranya hanyalah permasalahan "menyingkat" dalam tulisan, bukan
dalam ucapan. Apakah hukumnya haram?, ataukah boleh??!
Syaikh Al-Albani rahimahullah pernah ditanya tentang permasalahan ini :
Pertanyaan :
ما حكم كتابة الحرف ( ص ) بعد لفظة النبي صلى الله عليه وسلم في الكتاب.؟
Apa hukum penulisan huruf (ص) setelah penulisan lafal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di buku?
Jawab :
لا مانع من ذلك، بخلاف ما يفعله بعضهم قديما (صلعم) إختصار أوسع،أكثر حرفا من (ص) لأن ذلك أُوهم أنها كلمة،وبعض العامة والجهلة لا يفقهها،وأما (ص) فأصبحت رمزا للصلاة على النبي صلي الله عليه وسلم، لذلك أنا ما أرى مانعا من إستعمال هذه اللفظة لأنها لا يُسئ فهمها
"Tidak mengapa, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sebagian orang dahulu dengan menulis singkatan "صلعم" (yaitu ringkasan dari صـلـى الله عليه وسلم -pen), yaitu bentuk ringkasan yang lebih luas dan lebih banyak hurufnya daripada (ص), karena tulisan (صلعم) mengesankan adalah sebuah kata (shol'am), dan sebagian orang awam serta orang-orang bodoh tidak memahaminya (kalau itu hanya singkatan-pen). Adapun singkatan (ص) maka menjadi simbol bagi sholawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karenanya aku memandang tidak mengapa menggunakan lafal ini (ص sebagai ringkasan shalawat-pen) karena tidak disalah fahami" (Transkrip dari kaset Silsilah Al-Hudaa wa An-Nuur, kaset no 165, silahkan lihat http://bayenahsalaf.com/vb/showthread.php?t=6110)
Sangat jelas dari perkataan Syaikh Al-Albani bahwasanya jika simbol (yang merupakan singkatan) tidak menimbulkan kesalah fahaman bagi orang awam maka tidak mengapa untuk digunakan. Karena tujuan dari simbol tersebut bukanlah untuk dibaca, tapi yang dibaca adalah sholawatnya secara lengkap. Simbol tersebut hanyalah sebagai pemberitahuan untuk bersholawat.
Dari jawaban Syaikh Al-Albani di atas maka bisa kita simpulkan akan bolehnya menyingkat shalawat kepada Nabi dengan "SAW", demikian juga menyingkat salam dengan "Ass Wr Wb", atau menjawab salam dengan "Wlkm wr wb", atau yang semisalnya yang tentunya telah dipahami maksudnya oleh pembaca.
Pendapat Syaikh Al-Albani rahimahullah ini diselisihi oleh mayoritas ulama. Kebanyakan ulama memandang penyingkatan shalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah makruh. Silahkan lihat fatwa-fatwa mereka di http://www.artikelmuslim.com/2012/02/fatwa-ulama-seputar-hukum-menyingkat.html atau di http://www.konsultasisyariah.com/hukum-menyingkat-tulisan-shalawat-nabi/
Namun As-Sakhoowi rahimahullah (wafat 902 H) dalam kitabnya Fathul Mughiits (Syarah 1000 bait Al-Haafiz al-'Irooqi) lebih cenderung kepada pendapat bahwa penyingkatan tersebut hanya masuk pada kategori خِلاَفُ الأَوْلَى "Menyelisihi yang lebih utama", dan tidak sampai pada kategori makruh. Berikut pernyataan beliau rahimahullah
واجتنب أيها الكاتب الرمز لها أي للصلاة على رسول الله صلى الله عليه و سلم في خطك بأن تقتصر منها على حرفين ونحو ذلك فتكون منقوصة صورة كما يفعله الكسائي والجهلة من أبناء العجم غالبا وعوام الطلبة فيكتبون بدلا صلى الله عليه وسلم ص أو صم أو صلم أو صلعم فذلك لما فيه من نقص الأجر لنقص الكتابة خلاف الأولى.
وتصريح المصنف فيه وفيما بعده بالكراهة ليس على بابه ...لكن وجد بخط الذهبي وبعض الحفاظ كتابتها هكذا صلى الله علم وربما اقتفيت أثرهم فيه بزيادة لام أخرى قبل الميم مع التلفظ بهما غالبا والأولى خلافة
"Wahai sang penulis, hendaknya engkau menjauhi penulisan simbol untuk bersholawat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam tulisanmu, yaitu engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan yang semisalnya. Maka jadilah bentuk sholawatnya menjadi berkurang, sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Kisaai, orang-orang jahil dari orang-orang 'ajam secara umum, dan juga para penuntut ilmu yang awam. Sebagai pengganti صلى الله عليه وسلم mereka tulis (ص) atau (صم) atau (صلم) atau (صلعم). Hal ini dikarenakan akan mengurangi pahala dikarenakan kurangnya tulisan. Ini adalah menyelisihi yang lebih utama.
Dan penegasan sang penulis (Yaitu Al-Haafiz Al-'Irooqi rahimahullah-pen) di bait ini dan juga pada bait setelahnya akan makruhnya (hal ini) maka bukanlah pada makna biasanya…
Akan tetapi ditemukan khot (tulisan tangan) Al-Imam Adz-Dzahabi dan juga sebagian para huffaz penulisan shalawat kepada Nabi seperti ini (صلى الله علم), dan terkadang aku mengikuti cara mereka (dalam penyingkatan-pen) dengan menambah huruf laam yang lain sebelum huruf miim (yaitu jadinya صلى الله عللم -pen) dengan biasanya disertai melafalkan sholat dan salam. Dan yang lebih utama adalah tidak melakukannya" (Fathul Mughiits 3/70-71, tahqiq Ali Husain Ali, cetakan Wizaaroh Asy-Syu'uun Al-Islaamiyah wal Awqoof wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyaad)
Perhatikanlah perkataan As-Sakhoowi "makruhnya (hal ini) maka bukanlah pada makna biasanya", menunjukkan beliau tidak setuju bahwa penyingkatan shalawat dalam tulisan dihukumi makruh. Sehingga beliau menafsirkan kata "makruh" yang disebutkan oleh Al-Haafiz al-'Irooqi bahwa makruh tersebut bukan pada makna makruh dalam makna biasanya yaitu makruh dalam hukum fikih. Akan tetapi wallahu a'lam, seakan-akan As-Sakhoowi hanya memandang makruh tersebut dalam adab saja bukan dalam hukum. Karenanya beliau menegaskan bahwa beliau juga melakukan penyingkatan tersebut terkadang akan tetapi hanya dalam tulisan, dan tatkala beliau menyingkat dalam tulisan mulut beliau tetap mengucapkan sholat dan dan salam kepada Nabi dalam bentuk ucapan. Akan tetapi beliau tetap memandang bahwa menyingkat hanyalah menyelisihi yang lebih utama.
Pendapat As-Sakhoowi rahimahullah ini saya kira sama dengan pendapat Syaikh Al-Albani, bahwasanya penyingkatan shalawat hukumnya boleh, hanya saja menyelisihi yang lebih utama, karena tentunya dengan menulisnya secara lengkap akan mendapatkan pahala menulis sholawat tersebut, selain juga mendapatkan pahala mengucapkan secara lisan sholawat tersebut.
Pendapat Syaikh As-Sakhowi dan Al-Albani cukup kuat mengingat :
Pertama : "Makruh" salah satu bentuk vonis hukum dalam hukum-hukum fikih. Tentunya vonis tersebut butuh dalil, sebagaimana pernyataan "mubaah", "sunnah", "haram", dan "wajib" juga butuh dalil. Dan dalam hal penyingkatan shalawat maka hukum asalnya adalah mubaah (boleh), kecuali ada dalil yang memalingkan kepada makruh.
Kedua : Tujuan dari tulisan adalah dibaca, karenanya huruf-huruf untuk mengungkapkan sesuatu ucapan bisa saja berbeda-beda. Untuk mengungkapkan sholawat kepada Nabi yaitu dengan ucapan (صلى الله عليه وسلم) bisa dengan menggunakan huruf Arab (huruf hijaiyah) atau dengan huruf latin, atau dengan huruf cina atau jepang, atau huruf jawa kuno, dll. Yang intinya dibuatnya tulisan adalah untuk dibaca, jika suatu tulisan sudah dipahami maksud bacaannya maka telah tercapai tujuan tulisan tersebut, karena tulisan adalah wasilah/sarana saja, tujuannya adalah bacaan. Jika tujuannya telah tercapai dengan tulisan huruf apapun maka wallahu A'lam tidak mengapa.
Karenanya syaikh Al-Albani rahimahullah memandang tidak mengapa jika lafal sholawat disingkat menjadi (ص) karena orang yang membacanya sudah paham tujuan dari tulisan huruf shood ini, yaitu untuk bershalawat. Akan tetapi beliau kurang setuju dengan singkatan (صلعم) karena dikawatirkan akan disalah pahami sehingga akan dibaca oleh orang yang tidak mengerti dengan "Shol'ama" yang tidak tahu bahwa itu adalah singkatan dari sholawat kepada Nabi. Artinya beliau kawatir tujuan dari tulisan tidak tercapai. Dengan demikian jika tujuan dari tulisan huruf-huruf telah tercapai maka hukumnya tidak mengapa. Sebagaimana tulisan SAW, saya rasa rata-rata orang akan faham maksudnya adalah untuk bersholawat kepada Nabi dengan mengucapkan "Shallallahu 'Alaihi Wasallam", dan bukan dibaca "saw'.
Ketiga : Jika kita menjadikan teks tulisan yang tertera sebagai tujuan maka yang hanya bisa mengungkapkan sholawat kepada Nabi dengan tepat adalah huruf Arab hijaiyah. Adapun huruf latin, huruf jawa kuno, huruf jepang, apalagi huruf cina tentu tidak akan bisa mengungkapkan sholawat dengan tepat. Sebagai contoh di dalam bahasa Inggris, atau bahasa, jawa, dan juga huruf cina dan jepang, kemungkinan besar tidak ada yang bisa mewakili huruf (ع) 'ain, demikian juga huruf (ص). Karenanya kalau kita hanya bersandar kepada teks yang tertulis dengan melalaikan bahwa teks tersebut hanyalah sarana dan bukan tujuan, maka kita katakan penulisan sholawat dalam bahasa Indonesia sebagai berikut merupakan kesalahan : "Salalahu alaihi wa salam". Ini adalah kesalahan karena jika dibaca leterlek maka tidak akan mewakili sholawat yang benar, karena tidak mewakili huruf shood, dan malah cenderung mewakili huruf siin, demikian juga tidak mewakili huruf 'ain, tetapi lebih cenderung mewakili huruf hamzah, demikian juga huruf lam nya tidak didouble. Yang paling mendekati kebenaran adalan "Shollallahu 'alaihi wa sallam"
Syaikh Al-Albani rahimahullah pernah ditanya tentang permasalahan ini :
Pertanyaan :
ما حكم كتابة الحرف ( ص ) بعد لفظة النبي صلى الله عليه وسلم في الكتاب.؟
Apa hukum penulisan huruf (ص) setelah penulisan lafal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di buku?
Jawab :
لا مانع من ذلك، بخلاف ما يفعله بعضهم قديما (صلعم) إختصار أوسع،أكثر حرفا من (ص) لأن ذلك أُوهم أنها كلمة،وبعض العامة والجهلة لا يفقهها،وأما (ص) فأصبحت رمزا للصلاة على النبي صلي الله عليه وسلم، لذلك أنا ما أرى مانعا من إستعمال هذه اللفظة لأنها لا يُسئ فهمها
"Tidak mengapa, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sebagian orang dahulu dengan menulis singkatan "صلعم" (yaitu ringkasan dari صـلـى الله عليه وسلم -pen), yaitu bentuk ringkasan yang lebih luas dan lebih banyak hurufnya daripada (ص), karena tulisan (صلعم) mengesankan adalah sebuah kata (shol'am), dan sebagian orang awam serta orang-orang bodoh tidak memahaminya (kalau itu hanya singkatan-pen). Adapun singkatan (ص) maka menjadi simbol bagi sholawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karenanya aku memandang tidak mengapa menggunakan lafal ini (ص sebagai ringkasan shalawat-pen) karena tidak disalah fahami" (Transkrip dari kaset Silsilah Al-Hudaa wa An-Nuur, kaset no 165, silahkan lihat http://bayenahsalaf.com/vb/showthread.php?t=6110)
Sangat jelas dari perkataan Syaikh Al-Albani bahwasanya jika simbol (yang merupakan singkatan) tidak menimbulkan kesalah fahaman bagi orang awam maka tidak mengapa untuk digunakan. Karena tujuan dari simbol tersebut bukanlah untuk dibaca, tapi yang dibaca adalah sholawatnya secara lengkap. Simbol tersebut hanyalah sebagai pemberitahuan untuk bersholawat.
Dari jawaban Syaikh Al-Albani di atas maka bisa kita simpulkan akan bolehnya menyingkat shalawat kepada Nabi dengan "SAW", demikian juga menyingkat salam dengan "Ass Wr Wb", atau menjawab salam dengan "Wlkm wr wb", atau yang semisalnya yang tentunya telah dipahami maksudnya oleh pembaca.
Pendapat Syaikh Al-Albani rahimahullah ini diselisihi oleh mayoritas ulama. Kebanyakan ulama memandang penyingkatan shalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah makruh. Silahkan lihat fatwa-fatwa mereka di http://www.artikelmuslim.com/2012/02/fatwa-ulama-seputar-hukum-menyingkat.html atau di http://www.konsultasisyariah.com/hukum-menyingkat-tulisan-shalawat-nabi/
Namun As-Sakhoowi rahimahullah (wafat 902 H) dalam kitabnya Fathul Mughiits (Syarah 1000 bait Al-Haafiz al-'Irooqi) lebih cenderung kepada pendapat bahwa penyingkatan tersebut hanya masuk pada kategori خِلاَفُ الأَوْلَى "Menyelisihi yang lebih utama", dan tidak sampai pada kategori makruh. Berikut pernyataan beliau rahimahullah
واجتنب أيها الكاتب الرمز لها أي للصلاة على رسول الله صلى الله عليه و سلم في خطك بأن تقتصر منها على حرفين ونحو ذلك فتكون منقوصة صورة كما يفعله الكسائي والجهلة من أبناء العجم غالبا وعوام الطلبة فيكتبون بدلا صلى الله عليه وسلم ص أو صم أو صلم أو صلعم فذلك لما فيه من نقص الأجر لنقص الكتابة خلاف الأولى.
وتصريح المصنف فيه وفيما بعده بالكراهة ليس على بابه ...لكن وجد بخط الذهبي وبعض الحفاظ كتابتها هكذا صلى الله علم وربما اقتفيت أثرهم فيه بزيادة لام أخرى قبل الميم مع التلفظ بهما غالبا والأولى خلافة
"Wahai sang penulis, hendaknya engkau menjauhi penulisan simbol untuk bersholawat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam tulisanmu, yaitu engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan yang semisalnya. Maka jadilah bentuk sholawatnya menjadi berkurang, sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Kisaai, orang-orang jahil dari orang-orang 'ajam secara umum, dan juga para penuntut ilmu yang awam. Sebagai pengganti صلى الله عليه وسلم mereka tulis (ص) atau (صم) atau (صلم) atau (صلعم). Hal ini dikarenakan akan mengurangi pahala dikarenakan kurangnya tulisan. Ini adalah menyelisihi yang lebih utama.
Dan penegasan sang penulis (Yaitu Al-Haafiz Al-'Irooqi rahimahullah-pen) di bait ini dan juga pada bait setelahnya akan makruhnya (hal ini) maka bukanlah pada makna biasanya…
Akan tetapi ditemukan khot (tulisan tangan) Al-Imam Adz-Dzahabi dan juga sebagian para huffaz penulisan shalawat kepada Nabi seperti ini (صلى الله علم), dan terkadang aku mengikuti cara mereka (dalam penyingkatan-pen) dengan menambah huruf laam yang lain sebelum huruf miim (yaitu jadinya صلى الله عللم -pen) dengan biasanya disertai melafalkan sholat dan salam. Dan yang lebih utama adalah tidak melakukannya" (Fathul Mughiits 3/70-71, tahqiq Ali Husain Ali, cetakan Wizaaroh Asy-Syu'uun Al-Islaamiyah wal Awqoof wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyaad)
Perhatikanlah perkataan As-Sakhoowi "makruhnya (hal ini) maka bukanlah pada makna biasanya", menunjukkan beliau tidak setuju bahwa penyingkatan shalawat dalam tulisan dihukumi makruh. Sehingga beliau menafsirkan kata "makruh" yang disebutkan oleh Al-Haafiz al-'Irooqi bahwa makruh tersebut bukan pada makna makruh dalam makna biasanya yaitu makruh dalam hukum fikih. Akan tetapi wallahu a'lam, seakan-akan As-Sakhoowi hanya memandang makruh tersebut dalam adab saja bukan dalam hukum. Karenanya beliau menegaskan bahwa beliau juga melakukan penyingkatan tersebut terkadang akan tetapi hanya dalam tulisan, dan tatkala beliau menyingkat dalam tulisan mulut beliau tetap mengucapkan sholat dan dan salam kepada Nabi dalam bentuk ucapan. Akan tetapi beliau tetap memandang bahwa menyingkat hanyalah menyelisihi yang lebih utama.
Pendapat As-Sakhoowi rahimahullah ini saya kira sama dengan pendapat Syaikh Al-Albani, bahwasanya penyingkatan shalawat hukumnya boleh, hanya saja menyelisihi yang lebih utama, karena tentunya dengan menulisnya secara lengkap akan mendapatkan pahala menulis sholawat tersebut, selain juga mendapatkan pahala mengucapkan secara lisan sholawat tersebut.
Pendapat Syaikh As-Sakhowi dan Al-Albani cukup kuat mengingat :
Pertama : "Makruh" salah satu bentuk vonis hukum dalam hukum-hukum fikih. Tentunya vonis tersebut butuh dalil, sebagaimana pernyataan "mubaah", "sunnah", "haram", dan "wajib" juga butuh dalil. Dan dalam hal penyingkatan shalawat maka hukum asalnya adalah mubaah (boleh), kecuali ada dalil yang memalingkan kepada makruh.
Kedua : Tujuan dari tulisan adalah dibaca, karenanya huruf-huruf untuk mengungkapkan sesuatu ucapan bisa saja berbeda-beda. Untuk mengungkapkan sholawat kepada Nabi yaitu dengan ucapan (صلى الله عليه وسلم) bisa dengan menggunakan huruf Arab (huruf hijaiyah) atau dengan huruf latin, atau dengan huruf cina atau jepang, atau huruf jawa kuno, dll. Yang intinya dibuatnya tulisan adalah untuk dibaca, jika suatu tulisan sudah dipahami maksud bacaannya maka telah tercapai tujuan tulisan tersebut, karena tulisan adalah wasilah/sarana saja, tujuannya adalah bacaan. Jika tujuannya telah tercapai dengan tulisan huruf apapun maka wallahu A'lam tidak mengapa.
Karenanya syaikh Al-Albani rahimahullah memandang tidak mengapa jika lafal sholawat disingkat menjadi (ص) karena orang yang membacanya sudah paham tujuan dari tulisan huruf shood ini, yaitu untuk bershalawat. Akan tetapi beliau kurang setuju dengan singkatan (صلعم) karena dikawatirkan akan disalah pahami sehingga akan dibaca oleh orang yang tidak mengerti dengan "Shol'ama" yang tidak tahu bahwa itu adalah singkatan dari sholawat kepada Nabi. Artinya beliau kawatir tujuan dari tulisan tidak tercapai. Dengan demikian jika tujuan dari tulisan huruf-huruf telah tercapai maka hukumnya tidak mengapa. Sebagaimana tulisan SAW, saya rasa rata-rata orang akan faham maksudnya adalah untuk bersholawat kepada Nabi dengan mengucapkan "Shallallahu 'Alaihi Wasallam", dan bukan dibaca "saw'.
Ketiga : Jika kita menjadikan teks tulisan yang tertera sebagai tujuan maka yang hanya bisa mengungkapkan sholawat kepada Nabi dengan tepat adalah huruf Arab hijaiyah. Adapun huruf latin, huruf jawa kuno, huruf jepang, apalagi huruf cina tentu tidak akan bisa mengungkapkan sholawat dengan tepat. Sebagai contoh di dalam bahasa Inggris, atau bahasa, jawa, dan juga huruf cina dan jepang, kemungkinan besar tidak ada yang bisa mewakili huruf (ع) 'ain, demikian juga huruf (ص). Karenanya kalau kita hanya bersandar kepada teks yang tertulis dengan melalaikan bahwa teks tersebut hanyalah sarana dan bukan tujuan, maka kita katakan penulisan sholawat dalam bahasa Indonesia sebagai berikut merupakan kesalahan : "Salalahu alaihi wa salam". Ini adalah kesalahan karena jika dibaca leterlek maka tidak akan mewakili sholawat yang benar, karena tidak mewakili huruf shood, dan malah cenderung mewakili huruf siin, demikian juga tidak mewakili huruf 'ain, tetapi lebih cenderung mewakili huruf hamzah, demikian juga huruf lam nya tidak didouble. Yang paling mendekati kebenaran adalan "Shollallahu 'alaihi wa sallam"
Kelima : Sering kita butuh pada singkatan-singkatan tersebut dalam menulis sms dalam rangka untuk menghemat biaya dan menghemat waktu. Karena sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya kecepatan mengucapkan (berbicara dengan lisan) lebih cepat daripada kecepatan pengungkapan dengan tulisan.
Keenam : Kita juga mendapati para ulama melakukan penyingkatan, seperti (نا) yang merupakan singkatan dari (حدثنا), demikian juga misalnya kata (بسملة) yang merupakan singkatan dari (بسم الله الرحمن الرحيم), juga kata (حمدلة) singkatan dari (الحمد لله), juga kata (حيفلة) singkatan dari (حي على الفلاح) juga kata (حولقة) yang merupakan singkatan dari (لا حول ولا قوة إلا بالله).
Ketujuh : Diriwayatkan bahwsanya sebagian ahlil hadits menuliskan kata "Nabi" tanpa menuliskan (صلى الله عليه وسلم), akan tetapi hanya mencukupkan mengucapkan sholawat kepada Nabi dengan lisan tidak dengan tulisan. Jika perkaranya dibolehkan maka tentu menulis singkatan sholawat dalam rangka untuk mengingatkan pembaca agar bersholawat juga dibolehkan. Wallahu A'lam bis Showaab
Catatan :
·
Bagaimanapun menulis doa secara lengkap itulah yang
dianjurkan, dan lebih baik, serta sang penulis akan mendapatkan pahala dari
tulisannya tersebut selain pahala ucapan.
·
Tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengingatkan kepada
para pembaca yang tatkala menegur orang yang menyingkat shalawat atau
menyingkat salam dengan terkesan seakan-akan perbuatan tersebut adalah haram
dan terhina pelakunya.
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 16-11-1434 H / 22 September 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com
http://firanda.com/index.php/artikel/fiqh/525-bolehnya-singkatan-saw-atau-aslkm-wr-wb-dan-sejenisnya-fatwa-syaikh-al-albani-rahimahullah
2)
Pendapat yang tidak membolehkan
Hendaknya
Tulisan SAW, SWT, Ass.Wr.Wb Ditulis Lengkap Tidak dengan Menyingkatnya
Sering kita jumpai di kartu undangan
pernikahan, majalah, surat kabar atau tulisan lainnya yang menyingkat SAW, SWT, Ass.wr.wb dari kata-kata Rasulullah SAW, Allah
SWT, termasuk salam Ass.wr.wb yang
merupakan pujian kepada Allah ( سبحانه وتعالى), shalawat dan salam (صلى ا لله عليه
وسلم) juga do’a (السلام عليكم), dan bagaimana hukum menyingkat penulisan SAW,
SWT, As.wr.wb tersebut,
simak fatwa ulama berikut.
Penulis: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin ‘Abdillah Alu Asy-syaikh
Tanya: Apa hukum menulis (huruf) Shod (ص –
dalam bahasa Indonesia biasa di singkat dengan kata SAW-pent ) sebagai ganti
dari tulisan Shollallahu ‘alaihi wasallam?
Jawab: “Hal
itu tidak Pantas, Bahkan seharusnya kita menulis shollallahu ‘alaihi wasallam
secara lengkap.”
Kumpulan Fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdillah Alu Asy-syaikh rahimahullah, Fatwa tersebut diambil dari Jurnal
Islamy Al-Atsariyyah MakasarVol.02/Th.I/1427H,
Dewan Penasehatnya Ust.Luqman Jamal Lc dan Ust. Mustamin bin Musaruddin Lc
Dikutip dari http://darussalaf.co.id Penulis:
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Asy-syaikh Judul: Hukum Menulis SAW, SWT, As.wr.wb.
Kesimpulan:
Hendaknya kita mulai sekarang menulis
lengkap tulisan tersebut dan tidak dengan menyingkatnya seperti:
SAW dengan Shallalahu
‘alahi wassalam (صلى
ا لله عليه وسلم)
SWT dengan Subhanallahu
wa Ta’ala ( سبحانه
وتعالى)
Ass.wr.wb dengan Assalamu’alaykum Warahmatullahi wabarakaatuh (السلام
عليكم)
Diarsipkan
pada: https://qurandansunnah.wordpress.com/
Pada artikel islami lain saya sadur sbb:
Assalaamu
alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh..
Sering
kita jumpai di kartu undangan pernikahan, majalah, surat kabar atau tulisan
lainnya yang menyingkat SAW, SWT, Ass.wr.wb dari
kata-kata Rasulullah SAW, Allah SWT, termasuk salamAss.wr.wb yang
merupakan pujian kepada Allah ( سبحانه وتعالى), shalawat dan salam (صلى ا لله عليه وسلم) juga do’a (السلام عليكم), dan bagaimana hukum menyingkat penulisan SAW, SWT, As.wr.wb tersebut,
simak fatwa ulama berikut.
Apa hukum masalah ini?
Tidak
boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh
pula menyingkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.
Diterjemahkan dari http://www.bakkah.net
Diterjemahkan dari http://www.bakkah.net
Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan
Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)
Bolehkah menulis huruf SAW
yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa
alasannya?
Yang disyari`atkan adalah
menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan
doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.
Penyingkatan terhadap
shalawat dengan menggunakan huruf shad atau penyingkatan Salam dan Shalawat
(seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia) tidaklah termasuk doa dan
bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis. Dan juga karena
penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal
Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wabillahit taufiq, dan semoga
shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para
sahabat beliau.
Dewan Tetap untuk Penelitian
Islam dan Fatwa
Ketua:
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood
(Fataawa
al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth
al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)
Perkaranya
lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah,
makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan
shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka
menjalankan perintah Allah Aza Wajallah kepada kita dan agar pembaca mengingat
untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut. Tidak sepantasnya
lafazh shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya shad1 islam Fatwa
Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat atau slm1 islam Fatwa Larangan
Penyingkatan Salam dan Shalawat ataupun singkatan-singkatan yang serupa
dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini
jelas menyelisihi perintah Allah Aza Wajallah dalam firman-Nya:
“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”
“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”
Dan juga dengan menyingkat
tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan
sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak
perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.
Menyingkat lafazh shalawat
ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.
Ibnu
Shalah
Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah Ibnu Shalah . Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan memengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”
Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah Ibnu Shalah . Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan memengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”
Ibnu Shalah juga berkata,
“Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:
Pertama, ia menuliskan lafazh
shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.
Kedua, ia menuliskannya
dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan wassalam islam Fatwa
Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat
Al-‘Allamah
As-Sakhawi
Al-‘Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Ara:) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan saw dan shad, Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.
Al-‘Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Ara:) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan saw dan shad, Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.
As-Suyuthi
As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan slm3, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”
As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan slm3, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”
Inilah
wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar KAUM MUSLIMIN
mencari yang utama atau afdhal, mencari yang di dalamnya ada tca juga penulis,
agar mereka mencari yang utama atau afdhal, mencari yang di dalamnya ada
tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau
menguranginya.”
(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)
(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)
Sumber: Majalah Asy Syari’ah,
Vol. III/No. 36/1428 H/2007, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Hal. 89-91.
Hendaknya kita mulai sekarang
menulis lengkap tulisan tersebut dan tidak dengan menyingkatnya seperti:
SAW dengan Shallalahu ‘alahi
wassalam (صلى ا لله عليه وسلم)
SWT dengan Subhanallahu wa
Ta’ala ( سبحانه وتعالى)
Ass.wr.wb dengan
Assalamu’alaykum Warahmatullahi wabarakaatuh (السلام عليكم)
Jzk dengan Jazakallahu
khoiron katsir (padahal hal ini adalah do`a)
KESIMPULANNYA
ooo000ooo
kalaupun niatnya baik “TAPI” cara yang digunakan adalah salah, maka tidak lain hasilnya salah. insyaAlloh umat muslim tidak mempunyai jiwa bakhil untuk niat dan tujuan yang mulia
kalaupun niatnya baik “TAPI” cara yang digunakan adalah salah, maka tidak lain hasilnya salah. insyaAlloh umat muslim tidak mempunyai jiwa bakhil untuk niat dan tujuan yang mulia
Mohon masukan, kritik dan
tambahan bila terdapat kekeliruan dalam catatan ini, karena catatan ini dibuat
semata-mata tujuan dakwah mengharap keridhoan Allah.
Karena kita bersaudara, kita
harus saling mengingatkan mana yang benar dan mana yang salah. Karena seluruh
kaum muslimin berharap jelasnya kebenaran dan kebatilan.Mengingatkan yang lupa
dan memperbaiki yang salah jika diiringi dengan bukti-bukti dan dalil-dalil
secara ilmiyah, justru akan mempererat ukhuwah islamiyah. Karena sudah
merupakan kodrat manusia untuk berbuat salah dan lupa.
Untuk itu harus ada di tengah
mereka saling nasehat-menasehati dengan kebenaran dan kesabaran. Maka -dalam
rangka ukhuwah islamiyah- kita wajib mengingatkan kesalahan kaum muslimin dan
menjelaskan penyimpangan dan kebid’ahan-kebid’ahan pada zaman sekarang ini
dengan berharap semoga Allah menyelamatkan seluruh kaum muslimin dari kesesatan
dan penyimpangan.
https://hanifiyah.wordpress.com/2012/04/17/hukum-menyingkat-salam-saw-swt-jzk-bolehkah-kita-menyingkatnya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar