HUKUM ISBAL (MENJULURKAN CELANA/SARUNG
DIBAWAH MATA KAKI)
Isbal artinya mengulurkan sesuatu (sarung,
celana, dll) dari atas sampai ke bawah (permukaan tanah) melampaui mata kaki.
(Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 139; Sa’di Abu Jaib, Al Qamus
Al Fiqhi, hlm. 111).
Hukum isbal bagi laki-laki menurut kami dirinci sebagai berikut :
Pertama, isbal karena sombong, hukumnya haram. Dalilnya hadis Ibnu Umar RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,’Allah tidak akan melihat siapa pun yang mengulurkan bajunya [melampaui mata kaki] karena sombong.” (HR Bukhari dan Muslim). Imam Syaukani mengatakan hadis ini menunjukkan haramnya isbal karena sombong (khuyala`). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 328).
Kedua, isbal bukan karena sombong, hukumnya tidak haram, tapi makruh. Ini pendapat jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. (Nashir bin Muhammad bin Misyri Al Ghamidi; Libasur Rajul Ahkamuhu wa Dhawabithuhu, Juz I hlm. 703).
Dalil tidak haramnya isbal jika bukan karena sombong, adalah mafhum mukhalafah dari hadis Ibnu Umar RA di atas. Imam Syaukani menjelaskan kata khuyala` (sombong) dalam hadis tersebut merupakan taqyid (batasan). Maka mafhum mukhalafah-nya ‘siapa pun yang mengulurkan bajunya [melampaui mata kaki] bukan karena sombong, berarti tidak terkena ancaman dalam hadis itu’. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 327).
Selain mafhum mukhalafah ini, terdapat manthuq nash yang tak mengharamkan isbal jika bukan karena sombong. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,’Barangsiapa mengulurkan bajunya [melampaui mata kaki] karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat.’ Abu Bakar kemudian berkata,’Sesungguhnya sarungku selalu terulur [melampaui mata kaki] kecuali aku sengaja mengikatnya.’ Maka Rasululullah SAW bersabda,’Sesungguhnya engkau tak termasuk orang yang mengerjakan perbuatan itu karena sombong.” (HR Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa`i). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/158).
Hadis ini menunjukkan isbal bukan karena sombong tidak haram. Namun tidak haram bukan berarti hukumnya mubah, melainkan makruh. Sebab terdapat nash-nash yang melarang isbal secara mutlak, baik karena sombong maupun tidak. Dari Jabir bin Sulaim RA, Nabi SAW pernah bersabda,”Angkatlah sarungmu hingga pertengahan betis. Kalau kamu enggan, angkatlah hingga di atas mata kaki. Hindarkan dirimu dari isbal pada sarung, karena isbal itu merupakan kesombongan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai kesombongan.” (HR Abu Dawud, Nasa`i, dan Tirmidzi).
Hadis ini menunjukkan larangan isbal secara mutlak, baik karena sombong maupun tidak. Maka isbal tidak karena sombong pun, tetap terkena larangan mutlak ini. Namun demikian, isbal seperti ini tak berarti hukumnya haram, melainkan makruh. Karena terdapat qarinah yang masih membolehkan isbal asalkan tidak sombong, yaitu hadis Ibnu Umar tentang kisah Abu Bakar di atas. Jadi, isbal yang bukan karena sombong hukumnya makruh.
Memang ada ulama yang mengharamkan isbal secara mutlak, baik karena sombong maupun tidak, seperti Qadhi ‘Iyadh, Ibnul ‘Arabi, dan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani. Namun Imam Syaukani menolak pendapat semacam ini. Karena pendapat ini berarti tak mengamalkan hadis muqayyad (yang mengandung taqyid/batasan), yakni kata khuyala` (sombong) dalam hadis Bukhari. Padahal semua hadis yang ada seharusnya diamalkan, dengan mengkompromikan nash mutlak dan nash muqayyad, sesuai kaidah ushul fiqih : yuhmal al muthlaq ‘ala al muqayyad wajib (membawa nash yang mutlak kepada nash yang muqayyad adalah wajib). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 328; ‘Amir bin Isa Al Lahwu, Manhaj Al Imam Al Syaukani fi Daf’i Al Ta’arudh Baina Al Adillah Al Syar’iyah, hlm. 14).
Hukum isbal bagi laki-laki menurut kami dirinci sebagai berikut :
Pertama, isbal karena sombong, hukumnya haram. Dalilnya hadis Ibnu Umar RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,’Allah tidak akan melihat siapa pun yang mengulurkan bajunya [melampaui mata kaki] karena sombong.” (HR Bukhari dan Muslim). Imam Syaukani mengatakan hadis ini menunjukkan haramnya isbal karena sombong (khuyala`). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 328).
Kedua, isbal bukan karena sombong, hukumnya tidak haram, tapi makruh. Ini pendapat jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. (Nashir bin Muhammad bin Misyri Al Ghamidi; Libasur Rajul Ahkamuhu wa Dhawabithuhu, Juz I hlm. 703).
Dalil tidak haramnya isbal jika bukan karena sombong, adalah mafhum mukhalafah dari hadis Ibnu Umar RA di atas. Imam Syaukani menjelaskan kata khuyala` (sombong) dalam hadis tersebut merupakan taqyid (batasan). Maka mafhum mukhalafah-nya ‘siapa pun yang mengulurkan bajunya [melampaui mata kaki] bukan karena sombong, berarti tidak terkena ancaman dalam hadis itu’. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 327).
Selain mafhum mukhalafah ini, terdapat manthuq nash yang tak mengharamkan isbal jika bukan karena sombong. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,’Barangsiapa mengulurkan bajunya [melampaui mata kaki] karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat.’ Abu Bakar kemudian berkata,’Sesungguhnya sarungku selalu terulur [melampaui mata kaki] kecuali aku sengaja mengikatnya.’ Maka Rasululullah SAW bersabda,’Sesungguhnya engkau tak termasuk orang yang mengerjakan perbuatan itu karena sombong.” (HR Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa`i). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/158).
Hadis ini menunjukkan isbal bukan karena sombong tidak haram. Namun tidak haram bukan berarti hukumnya mubah, melainkan makruh. Sebab terdapat nash-nash yang melarang isbal secara mutlak, baik karena sombong maupun tidak. Dari Jabir bin Sulaim RA, Nabi SAW pernah bersabda,”Angkatlah sarungmu hingga pertengahan betis. Kalau kamu enggan, angkatlah hingga di atas mata kaki. Hindarkan dirimu dari isbal pada sarung, karena isbal itu merupakan kesombongan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai kesombongan.” (HR Abu Dawud, Nasa`i, dan Tirmidzi).
Hadis ini menunjukkan larangan isbal secara mutlak, baik karena sombong maupun tidak. Maka isbal tidak karena sombong pun, tetap terkena larangan mutlak ini. Namun demikian, isbal seperti ini tak berarti hukumnya haram, melainkan makruh. Karena terdapat qarinah yang masih membolehkan isbal asalkan tidak sombong, yaitu hadis Ibnu Umar tentang kisah Abu Bakar di atas. Jadi, isbal yang bukan karena sombong hukumnya makruh.
Memang ada ulama yang mengharamkan isbal secara mutlak, baik karena sombong maupun tidak, seperti Qadhi ‘Iyadh, Ibnul ‘Arabi, dan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani. Namun Imam Syaukani menolak pendapat semacam ini. Karena pendapat ini berarti tak mengamalkan hadis muqayyad (yang mengandung taqyid/batasan), yakni kata khuyala` (sombong) dalam hadis Bukhari. Padahal semua hadis yang ada seharusnya diamalkan, dengan mengkompromikan nash mutlak dan nash muqayyad, sesuai kaidah ushul fiqih : yuhmal al muthlaq ‘ala al muqayyad wajib (membawa nash yang mutlak kepada nash yang muqayyad adalah wajib). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 328; ‘Amir bin Isa Al Lahwu, Manhaj Al Imam Al Syaukani fi Daf’i Al Ta’arudh Baina Al Adillah Al Syar’iyah, hlm. 14).
Masalah isbal memang sering terjadi
perdebatan. Ada yang pro dan ada yang kontra, ada yang bilang itu adalah hal
yang dhalalah (sesat) ada juga yang bilang mubah. Mana yang benar?
Untuk menelaah hal itu, kita harus memiliki landasan, sebuah pijakan yang kuat. Dan untuk memahami hal itu, maka tentu saja kita berlandaskan pada al-Qur’an, al-Hadits, dan atsar dari para shahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, serta kata-kata para ulama. Tetapi kali ini pembahasan lebih ditekankan dan berputar pada Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam serta perkataan para salafushshalih.
Beberapa Hadits Tentang Larangan Isbal
Untuk menelaah hal itu, kita harus memiliki landasan, sebuah pijakan yang kuat. Dan untuk memahami hal itu, maka tentu saja kita berlandaskan pada al-Qur’an, al-Hadits, dan atsar dari para shahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, serta kata-kata para ulama. Tetapi kali ini pembahasan lebih ditekankan dan berputar pada Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam serta perkataan para salafushshalih.
Beberapa Hadits Tentang Larangan Isbal
Yang pertama,
Apa saja yang melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka
tempatnya di neraka
(HR. Bukhari no. 5787)
(HR. Bukhari no. 5787)
Yang kedua,
Allah tidak melihat pada hari kiamat nanti kepada orang yang
menjulurkan kainnya (hingga melewati mata kaki) dengan sombong.
(HR. Bukhari no. 5788 dan Muslim no. 2087)
Yang ketiga,
Sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya dengan
sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat
nanti
(HR. Muslim no. 2085, dimuat pula oleh An-Nasa’i, Ibnu Majah,
dan Imam Ahmad)
Yang keempat,
Ketika seorang laki-laki memanjangkan kainnya dengan sombong,
dia akan ditenggelamkan dengannya dibumi dan menjerit-jerit sampai hari kiamat
(HR Bukhari no. 3485 dan Muslim no. 2088, diriwayatkan pula oleh
Imam Ahmad)
Yang kelima,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa
yang menjulurkan pakaiannya dengansombong maka Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat nanti.” Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku salah seorang yang celaka, kainku turun, sehingga aku selalu
memeganginya.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya kamu
bukan termasuk orang yang melakukannya karena kesombongan.”
(HR. Bukhari no. 3665, diriwayatkan pula oleh An-Nasa’i dan Imam
Ahmad)
Yang keenam,
Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku melewati Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan kain sarungku menjulur ke bawah. Beiau bersabda: “Wahai
Abdullah, naikan kain sarungmu.” Maka aku pun menaikannya. Lalu Beliau bersabda
lagi: “Tambahkan.” Maka aku naikkan lagi, dan aku senantiasa menjaganya setelah
itu. Ada sebagian orang yang bertanya: “Sampai mana batasan?” Beliau bersabda:
“Setengah betis.”
(HR. Muslim no. 2086, dimuat pula oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan
al-Kubra)
Yang ketujuh,
Tempatnya Izar (kain sarung) adalah sampai setengah betis, jika
kamu tidak mau maka dibawahnya, jika kamu tidak mau maka di bawah betis dan
tidak ada hak bagi kain itu atas kedua mata kaki
(HR. Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dikatakan hasan shahih
oleh Tirmidzi)
Dan masih banyak lagi hadits yang semacam ini.
Perkataan Para Ulama
Para ulama terbagi menjadi tiga
kelompok dalam memaknai hadits-hadits di atas. Ada yang mengharamkan isbal
secara mutlak, baik dengan sombong atau tidak. Ada yang memakruhkan. Ada pula
yang membolehkan jika tanpa kesombongan. Ada pun jika dengan sombong,
semua mengharamkan tanpa perbedaan pendapat.
Dan jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan empat madzhab tidak
mengharamkannya
(Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid)
(Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid)
1. Kelompok yang membolehkan
Kelompok ini mengatakan bahwa
dalil-dalil larangan isbal adalah global (muthlaq), sedangkan dalil global
harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad). Jadi, secara global isbal
memang dilarang yaitu haram, tetapi ada sebab (‘illat) yang men-taqyid-nya
yaitu karena sombong (khuyala’). Kaidahnya adalah Hamlul muthlaq ilal
muqayyad (dalil yang global mesti dibawa/dipahami kepada dalil yang
mengikatnya/mengkhususkannya) .
Imam Abu Hanifah
Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu
Muflih berkata:
Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan
diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga
empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata
kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah
untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.”
(Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226.
Mawqi’ Al Islam)
Imam Ahmad bin Hanbal
Dalam satu riwayat Hanbal berkata: “Menjulurnya kain sarung, jika
tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian
ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya (Imam Ahmad)
rahimahumullah.”
(Al Adab Asy Syar’iyyah)
Disebutkan dalam riwayat lain bahwa
Imam Ahmad juga mengharamkan (Al Adab Asy Syar’iyyah)
Sementara itu, dalam riwayat lain menyebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata,
Sementara itu, dalam riwayat lain menyebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata,
Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan selendang (sorban) di
dalam shalat, jika tidak ada maksud sombong,
maka tidak mengapa (selama
tidak menyerupai wanita), jika demikian maka itu berbuatan keji.
(Syarhul ‘Umdah, karya Ibnu Taimiyah. Diriwayatkan juga oleh
Imam al-Bahuti dalam Kasysyaf al-Qina)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah)
memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan
makruh, dan tidak pula mengingkarinya.
(Al Adab Asy Syar’iyyah)
(Al Adab Asy Syar’iyyah)
Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena
ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan
pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa.
Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi dan selainnya
(Syarhul ‘Umdah)
2. Kelompok yang Memakruhkan
Kelompok ini adalah kelompok mayoritas, mereka menggunakan kaidah yang sama dengan kelompok yang membolehkan, yakni larangan isbal mesti dibatasi oleh khuyala (sombong). Hanya saja kelompok ini tidak mengatakan boleh jika tanpa sombong, mereka menilainya sebagai makruh tanzih, tapi tidak pula sampai haram.
Para fuqaha Islam menyebutkan bahwa
hukum makruh ada dua macam, yakni Makruh Tanzih dan Makruh Tahrim.
Makruh Tanzih adalah makruh ynag mendekati mubah (boleh). Makruh Tahrim adalah
makruh yang medekati haram.
Imam Asy Syafi’i dan Imam An Nawawi
Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika sombong, jika tidak
sombong maka makruh
(dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid)
jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus
bagi yang sombong
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim karya Imam An Nawawi)
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim karya Imam An Nawawi)
Imam Nawawi juga sempat berkata,
Isbal dibawah mata kaki dengan sombong (haram hukumnya, pen), jika
tidak sombong maka makruh. Demikian itu merupakan pendapat
Asy Syafi’i tentang
perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong.
Dia berkata: Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja
tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata
kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong,
jika tidak sombong maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang
ada yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum),
maka wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena
isbal yang dimaksud jika disertai khuyala (sombong).
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala)
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala)
Bahkan dalam Riyadhusshalihin Imam Nawawi sengaja membuat bab yang
berjudul “Bab Sifat Panjangnya Gamis, Kain Sarung, dan Ujung Sorban, dan
haramnya isbal (memanjangkan) hal tersebut karena sombong, dan makruh
jika tidak sombong”, yaitu bab ke-119.
Imam Ibnu Abdil Barr
Imam Ibnu Abdil Barr
Bisa dipahami bahwa menjulurkan pakaian bukan karena sombong
tidaklah termasuk dalam ancaman hadits tersebut, hanya saja memang menjulurkan
gamis dan pakaian lainnya, adalah tercela di segala keadaan
(dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab
Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala)
Imam Ibnu Qudamah
Dimakruhkan isbal (memanjangkan) gamis (baju kurung), kain sarung, dan celana
panjang, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan menaikannya.
Tetapi jika isbal dengan sombong maka haram
(Imam Ibnu Qudamah dalam Al Mughni, Al Fashlu Ats Tsalits Maa
Yakrahu fi Ash Shalah)
Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi
As Sindi
Beliau berkata ketika menjelaskan makna
hadits, “tidak ada hak bagi kain terhadap dua mata kaki”:
Yaitu kedua mata kaki tidak boleh tertutup dengan kain, dan
zahirnya kalimat ini merupakan pembatasan, jika melakukannya dengan tidak
sombong. Ya, jika sampai lebih bawah dari tempatnya (mata kaki) dengan sombong
maka perintah menaikannya lebih keras, dan jika tidak dengan sombong maka
perintahnya lebih ringan
(As-Sindi, dalam Syarh Sunan An Nasa’i, Kitab Az Zinah Bab
Maudhi’ al Izar)
Isbal-nya kain seorang laki-laki di bawah mata kaki, jika dia tidak sombong, maka hukumnya makruh tanzih...
Isbal-nya kain seorang laki-laki di bawah mata kaki, jika dia tidak sombong, maka hukumnya makruh tanzih...
(Fatawa Al-Hindiyah)
Memanjangkan pakain pada shalat hingga
melebihi mata kaki, bahkan menyentuh tanah adalah makruh menurut mayoritas
ulama. Tersebut dalam Al Mausu’ah:
Maka, menjulurkan pakaian dalam shalat –dengan makna dijulurkan
begitu saja tanpa dipakai- adalah makruh menurut mayoritas ahli fiqih secara
mutlak, sama saja baik yang dengan sombong atau tidak
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah)
3. Kelompok Ulama yang Mengharamkan
Kelompok ini berpendapat bahwa isbal
adalah haram baik dengan sombong atau tidak, dan dengan sombong keharamannya
lebih kuat dengan ancaman neraka, jika tidak sombong maka tetap haram dan Allah
Ta’ala tidak mau melihat di akhirat nanti kepada pelakunya (musbil). Kelompok
ini memahaminya sesuai zahirnya hadits.
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani
Kesimpulannya, isbal itu melazimkan terjadinya
menjulurnya pakaian, dan menjulurkan pakaian melazimkan terjadinya kesombongan,
walau pun pemakainya tidak bermaksud sombong. Hal ini dikuatkan
oleh riwayat Ahmad bin Mani’ dari jalur lain Ibnu Umar yang dia marfu’kan:
“Jauhilah oleh kalian menjulurkan kain sarung, karena sesungguhnya menjulurkan
kain sarung merupakan kesombongan (al makhilah).” Ath Thabarani meriwayatkan
dari Abu Umamah, “Ketika kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
kami berjumpa dengan Amru bin Zurarah al Anshari yang mengenakan mantel secara
isbal, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengambil bagian tepi
pakaiannya merendahkan dirinya kepada Allah, lalu berdoa: “Ya Allah hambaMu,
anak hambaMu, anak hambaMu yang perempuan. (bisa juga bermakna “Demi Allah“),
sampai akhirnya Amru mendengarkan itu, lalu dia berkata: “Ya Rasulullah
sesungguhnya aku merapatkan kedua betisku (maksudnya jalannya tidak
dibuat-buat, pen).” Maka nabi bersabda: “Wahau Amru, sesungguhnya Allah telah
menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, wahai Amru sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang musbil.
(Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Ibnul ‘Arabi
Tidak boleh bagi seorang laki-laki
membiarkan pakaiannya hingga mata kakinya lalu berkata: “Saya
menjulurkannya dengan tidak sombong.” Karena secara lafaz, sesungguhnya
larangan tersebut telah mencukupi, dan tidak boleh juga lafaz yang
telah memadai itu ada yang menyelisihinya secara hukum, lalu berkata: “Tidak
ada perintahnya,” karena ‘illat (alasannya) itu tidak
ada. Sesungguhnya itu adalah klaim yang tidak benar, bahkan memanjangkan
ujung pakaian justru itu menunjukkan kesombongan sendiri.
(Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man
Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, No hadits. 5354. Lihat juga Nailul Authar karya
Imam Asy Syaukani)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Banyak hadits-hadits yang semakna dengan ini, yang menunjukkan haramnya
isbal secara mutlak, walaupun pemakainya mengira bahwa dia
tidak bermaksud untuk sombong, karena hal itu menjadi sarana menuju kepada
kesombongan, selain memang hal itu merupakan israf (berlebihan), dapat
mengantarkan pakaian kepada najis dan kotoran. Ada pun jika memakainya dengan
maksud sombong perkaranya lebih berat lagi dan dosanya lebih besar.
(al-Buhuts al-Islamiyah)
Bukan hanya mereka, Imam
Adz Dzahabi (bermadzhab
Syafi’iyyah) dan Imam Al Qarrafi (bermadzhab Malikiyah) juga
mengharamkan.
Untuk zaman ini, para ulama pun berbeda
pendapat. Syaikh Al Qaradhawy tidak mengharamkan isbal kecuali dengan sombong,
begitu pula umumnya para ulama Mesir, Pakistan, India, dan lain-lain.
Sementara yang mengharamkan seperti Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, para ulama
Lajnah Da’imah, sebagian ulama Pakistan, Saudi Arabia, Yaman, dan lain-lain.
Bahkan Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin menyebutkan isbal dalam shalat adalah maksiat dan shalatnya tidak sah. Katanya:
Bahkan Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin menyebutkan isbal dalam shalat adalah maksiat dan shalatnya tidak sah. Katanya:
Ada pun hal yang diharamkan menurut sifatnya adalah seperti
pakaian yang menjulur, dia adalah seorang yang memakai pakaian katun yang
mubah, tetapi dia menurunkannya sampai melewati dua mata kaki.
Maka kami katakan: ini adalah diharamkan menurut sifatnya, dan
tidak sah shalatnya, karena itu tidak diizinkan, dan termasuk
maksiat dengan pakaiannya itu, dan secara syar’i hukumnya adalah batal, dan
barang siapa yang beramal yang bukan termasuk perintah kami maka itu tertolak
(Syarhul Mumti’ karya
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin)
BAGAIMANA
SIKAP KITA:
Silahkan kita menjalankan apa yang
menjadi keyakinan adalah benar, tanpa ada sikap pengingkaran terhadap yang
lain. Semoga Allah Ta’ala memberikan pahala dan dinilai sebagai upaya taqarrub
bagi siapa saja yang menaikkan pakaiannya di atas mata kaki atau setengah
betis, tanpa harus diiringi sikap merasa paling benar, keras, dan justru
sombong karena merasa sudah menjalankan sunah.
Ada akhlak para salafus shalih dan para
imam yang harus kita renungi bersama, sebagai berikut:
Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih
diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau
mencegahnya
(Sufyan ats-Tsauri)
Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang
awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi
itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya
mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang
masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana.
Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah
sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan
pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita
tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.
(Imam Nawawi, dalam Syarh Muslim)
(Imam Nawawi, dalam Syarh Muslim)
Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih
diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang
bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama
(Imam As Suyuthi, dalam Al Asybah wa An Nazhair)
(Imam As Suyuthi, dalam Al Asybah wa An Nazhair)
Maka
haramnya isbal secara mutlak adalah masalah khilafiyah, bukan masalah yang
qath'i atau kesepakatan semua ulama. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah
ini. Dan itulah realitasnya.
Pendapat
mana pun dari ulama itu, tetap wajib kita hormati. Sebab menghormati pendapat
ulama, meski tidak sesuai dengan selera kita, adalah bagian dari akhlaq dan
adab seorang muslim yang mengaku bahwa Muhammad SAW adalah nabinya. Dan
Muhammad itu tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq.
Pendapat
mana pun dari ulama itu, boleh kita ikuti dan boleh pula kita tinggalkan. Sebab
semua itu adalah ijtihad. Tidak ada satu pun orang yang dijamin mutlak
kebenaran pendapatnya, kecuali alma'shum Rasulullah SAW. Selama seseorang bukan
nabi, maka pendapatnya bisa diterima dan bisa tidak.
Bila
satu ijtihad berbeda dengan ijtihad yang lain, bukan berarti kita harus panas
dan naik darah. Sebaliknya, kita harus mawas diri, luas wawasan dan semakin
merasa diri bodoh. Kita tidak perlu menjadi sok pintar dan merasa diri paling
benar dan semua orang harus salah. Sikap demikian bukan ciri thalabatul ilmi
yang sukses, sebaliknya sikap para juhala' (orang bodoh) yang ilmunya terbatas.
Semoga
Allah SWT selalu menambah dan meluaskan ilmu kita serta menjadikan kita orang
yang bertafaqquh fid-din, Amin Ya Rabbal 'alamin.
Demikian risalah yang dapat kami sampaikan, dan semoga dapat
membuat pemahaman kita akan sunnah dan khilafiyah di antara kaum muslimin
semakin bertambah.
Sumber: http://wwwinformasikitasemua.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar