Hukum Menyanyi dalam Islam
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan
menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang
disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis
atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan
bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja
perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di
lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau
melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan
pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam
aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika
hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum
menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas
tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan
dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian
(ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan
nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih
Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain
musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain
musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang
termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para
ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal.
41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan
Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian
penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau
ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda
dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.
Hukum
Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni).
Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing
mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing,
seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin
Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik. http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam
bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal.
27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A. Dalil-Dalil Yang
Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
“Dan di antara manusia ada orang
yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu,
di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian
adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61;
dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram),
hal. 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di kalangan
umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan
nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Nyanyian itu bisa menimbulkan
nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah
SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul
tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku dilarang dari
suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan
dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika
mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya
dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang
Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu
dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami
mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus
berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar
suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan
jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan
Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas
dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan
kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid
pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi
kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu.
Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth
al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita
kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan
permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat
Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan
mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah bersyi’ir di masjid
dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz
II, hal. 485].
C. Pandangan
Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil
lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil
dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih
yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai
dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua
hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa
yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah
satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya
global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan
(tafsir). Pertentangan hanya terjadi
jika terjadinasakh (penghapusan hukum),
meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam
asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq
min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak
bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya.
Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi
pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada
melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya.
Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain
Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal bi
ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua dalil —walau pun
hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.”
(Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil
itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan).Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi
ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk
ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas
dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan
hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus,
atau perkecualian (takhsis), yaitu
bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan
syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang
mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang
menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secaramuqayyad (ada
batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang
diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian
haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan
nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik
berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya
disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur
baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya
mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme,
liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian
halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu
nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran.
Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang
meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu,
menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
Hukum
Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum
Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan
nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam
hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum
asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i).
Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah
manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur,
menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui,
mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali
adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi
al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum
asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi,
melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil,
mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk
membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya
saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat
aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan
jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja
boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara
manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan.
Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun
mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh
mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi
perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak
haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap
orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian
adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan
jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu
mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan
amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
“Siapa saja di antara kalian
melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik).
Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu,
ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah
iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].
b. Hukum Mendengar
Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan
nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’).
Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’)
dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar
nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar
mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya
seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’,
adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi
dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum,
berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau
mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’)
adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan
nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian
tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram,
atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau
kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas,
hal. 104). Allah SWT berfirman:
“Maka janganlah kamu duduk bersama
mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
“…Maka janganlah kamu duduk bersama
kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).
Hukum
Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano,
rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu
jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits,
yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan
tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram),
hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam,
hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang
mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung
kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani.
Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits
yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya,
seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih,
seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsirdalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalamTanqihul Afkar dan Taudlihul
Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapiSyaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa
hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI,
hal. 59 mengatakan:
“Jika belum ada perincian dari
Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini
[dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah
terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah.
Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka
pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang
mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
Hukum
Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan
Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung
dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR,
lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara
interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau
kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya
syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau
terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka
hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan
Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum
mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan
hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung
pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang
ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya—
yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda
menyebutkan:
Al-ashlu fi
al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah
boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat
menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau
mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila
al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.”
(Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
4. Pedoman Umum
Nyanyian Dan Musik Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin
membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk
yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar,
bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau
kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok
yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik
yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya:
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus
kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah,
mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan
bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru
orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya)
baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung
salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil
menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan
sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau
sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua
haram.
2). Instrumen/Alat
Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan
para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya.
Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan
alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif
tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik
adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
a) Amar ma’ruf (menuntut
keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas
kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan
menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan
syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak
pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela
jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai
hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu
malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah
Islam.
4). Waktu Dan
Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu
sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara,
mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang
wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun
tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur
baur).
5. Penutup
Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai
hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini
terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik
konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.
Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah
permasalahan khilafiyah. Mungkin
sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum
menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma
secuil— dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang
menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita
idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi]
Wallahu a’lam bi
ash-showab.
Sumber: http://konsultasi.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar