HUKUM MEMANDANG LAWAN
JENIS
Ada beberapa pendapat
ulama mengenai hukum memandang wajah lawan jenis, wanita memandang wajah pria
yang bukan mahrom atau sebaliknya, pria memandang wajah wanita yang bukan
mahrom ;
Pendapat pertama, halal di saat pandangan pertama tanpa disengaja dan haram di saat pandangan kedua atau pandangan berikutnya. Mereka berpegangan pada hadits Nabi saw. Ketika beliau menjawab pertanyaan sahabatnya yang bertanya mengenai hukum memandang wanita tanpa ia sengaja. Lalu beliau saw menjawab, “Pandangan pertama (tanpa sengaja) kamu tidak berdosa. Dan berdosa pandangan kamu berikutnya (yang disengaja).”
Pendapat kedua, kapanpun boleh bila tidak
dibarengi dengan nafsu atau syahwat.
Mereka berpegangan pada hadits yang
diriwayatkan bahwa dalam hajjatul wada� seorang
wanita menghadap Rasulullah saw. dan menanyakan beberapa masalah. Saat itu
Fadhl bin Abbas sepupu Nabi saw. berada di sisi beliau. Si wanita yg seharusnya
memperhatikan beliau malah berpaling memandang muka Fadhl yg tampan itu hingga
keduanya asyik saling pandang. Begitu Rasulullah saw. mengetahui hal itu beliau
segera memalingkan wajah Fadhl seraya bersabda "Apabila seorang pemuda dan
seorang pemudi saling berpandangan maka aku tak menjamin keamanan keduanya dari
godaan syetan." (H.R. Muslim Ahmad Abu Dawud).
Dan juga berpegangan pada
hadits Nabi saw., “Barangsiapa memandang wajah wanita lain (bukan mahrom)
dengan syahwat, maka pada kedua matanya akan dituangkan tembaga panas pada hari
kiamat.”
Mereka berpendapat kalau berpandangan dengan wanita secara mutlak haram maka beliau saw pasti melarang wanita tersebut masuk tanpa tutup muka. Dan para ulama pun berkesimpulan bahwa memandang selain wajah pun haram jika dibarengi dengan syahwat. Termasuk memandang bentuk tubuh lawan jenis dengan syahwat. Wallahu A’lam.
Sumber:https://www.facebook.com/permalink.php
Hukum Memandang Wanita
Memandang wanita yang
bukan mahram asalnya tidak dibolehkan. Jadi boleh ketika hajat. Namun ada
beberapa rincian mengenai hukum memandang wanita sebagaimana disebutkan oleh
Abu Syuja’ dalam matan Al Ghoyah wat Taqrib ditambah
penjelasan di catatan kaki yang kami sajikan. Moga bermanfaat.
Hukum seorang pria
memandang wanita dirinci menjadi tujuh:
Ketiga:
Memandang wanita yang masih mahramnya atau hamba sahayanya yang telah menikah
dengan yang lain, boleh memandang tubuhnya selain antara pusar dan lutut.[3]
Keempat:
Memandang demi alasan menikahi wanita, dibolehkan memandang wajah dan kedua
telapak tangan.[4]
Keenam:
Memandang wanita karena keperluan persaksian atau muamalat, boleh melihat pada
wajah saja.[6]
Ketujuh:
Memandang hamba sahaya yang ingin dibeli, boleh memandang pada tempat yang
dibutuhkan untuk dibolak-balikkan.[7]
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat”.” (QS. An Nur: 30)
[2] Dalam
Fathul Qorib (hal. 225), “Yang tepat boleh memandang kemaluan (istri atau budaknya
yang ia nikahi), namun dihukumi makruh.” Makruhnya karena dilihat dari sisi
adab (At Tadzhib, hal. 174).
Namun yang benar boleh
antara suami istri saling memandang aurat satu dan lainnya. Dalilnya di
antaranya hadits,
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ
يَمِينُكَ
“Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budak yang kau miliki.” (HR.
Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2769, hasan). Ibnu Hajar berkata, “Yang
dipahami dari hadits ‘kecuali dari istrimu’ menunjukkan bahwa istrinya
boleh-boleh saja memandang aurat suami. Hal ini diqiyaskan pula, boleh saja
suami memandang aurat istri.” (Fathul Bari, 1: 386). Dan yang berpandangan
bolehnya memandang aurat satu sama lain antara suami istri adalah pendapat jumhur ulama (mayoritas). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 32: 89)
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
“Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka” (QS. An Nur: 31). Antara pusar dan lutut termasuk aurat bagi
selain suami istri. Perhiasan yang dimaksud dalam ayat di atas tergantung
kondisi, yaitu di atas lutut di bawah pusar. (Lihat At Tadzhib, hal. 174-175)
[4] Dalam
riwayat Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata, “Aku pernah berada di sisi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu datang seseorang dan ia mengabarkan pada
beliau bahwa ia ingin menikahi wanita Anshar. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata padanya, “Apakah engkau telah melakukan nazhor (memandang)
dirinya?” “Belum”, jawab dia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
bersabda,
فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِى أَعْيُنِ الأَنْصَارِ
شَيْئًا
“Pergilah dan pandanglah dia karena di mata wanita Anshar
terdapat sesuatu.” Yaitu mata wanita Anshar itu berbeda dengan mata wanita
lainnya sehingga perlu dilihat agar tidak terkejut. (At Tadzhib, hal. 175)
Memandang wanita yang
ingin dinikahi di sini hanya pada wajah dan kedua telapak tangan karena tidak
ada hajat untuk melihat anggota tubuh lainnya. (Lihat At Tadzhib, hal. 176)
[5] Memandang
wanita lain dalam rangka berobat dibolehkan asalkan dengan adanya mahrom atau suami
dan tidak ada wanita lain yang bisa mengobatinya. Dan jika ada dokter muslim,
maka jangan beralih pada lainnya. Jika hal ini berlaku pada wanita, maka sama
halnya pada laki-laki. Laki-laki tidaklah boleh berobat pada dokter wanita jika
ada dokter laki-laki yang bisa mengobatinya. Jika tidak didapati demikian, maka
disyaratkan jangan sampai terjadi kholwat. (Lihat At Tadzhib, hal. 176)
[6] Memandang
wanita lain dalam rangka muamalah, maka boleh jika ada hajat untuk mengenali
wanita tersebut dan tidak bisa kecuali dengan melihatnya dan tidak bisa juga
dilakukan di balik hijab. Namun syarat yang harus dipenuhi adalah tidak adanya
kholwat (campur baur). (Lihat At Tadzhib, hal. 176)
[7] Melihat
budak yang ingin dibeli dibolehkan selama bukan aurat antara pusar dan lutut.
(Lihat At Tadzhib, hal. 176).
Sumber: www.rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar