Hukum bersalaman antara lelaki dan
perempuan yang bukan muhrim
Bismillah..
Dari referensi di internet dan buku yang saya baca kebanyakan
pendapat adalah yang menyatakan kharam bersalaman. Berikut pembahasannya:
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat yang mengharamkannya
adalah sebagai berikut:
Pertama, beberapa
riwayat dari ‘Aisyah r.a. yaitu:
Telah berkata ‘Aisyah:
“Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita yang
tidak halal baginya.” [HR. Bukhari Muslim].
Telah berkata ‘Aisyah:
“Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw menyentuh
tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan.” [HR.
Bukhari Muslim].
Menurut mereka
Hadits-hadits di atas dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa
Rasulullah Saw tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Kerana
itu maka hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah
haram.
Kedua, hadits-hadits
yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang
maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Thabrani].
Atau hadits yang berbunyi:
“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”
Ketiga, juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw yakni:
“Sesungguhnya aku
tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, Tirmidzi dan Nasa’i].
Sedangkan pendapat yang membolehkan dasarnya
adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah Saw bersentuhan
(memegang) tangan wanita.
Pertama, diriwayatkan
dari Ummu ‘Athiyah r.a. yang berkata:
“Kami membai’at
Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah
dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis
mayat), kerana itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan)
tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang
(perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas
jasanya’ dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu
pergi kemudian kembali lagi.” [HR. Bukhari].Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas –baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulullah Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57 – 58, 71 – 72).
Penjelasan ini juga
sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan
dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.” Seperti yang
dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan. (Lihat Muhammad Ismail,
Berjabat Tangan Dengan Perempuan, hal. 34). Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam
hadits tersebut tidak memiliki erti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa
difahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’.
Kata ‘qa ba dha’ juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya
menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu
Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata: “Suatu ketika datanglah
anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias.
Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulullah Saw masuk seraya membuang mukanya.
Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku
dan masih perawan(anak dara)’.” Beliau kemudian bersabda:
“Apabila seorang
wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya
kecuali wajahnya dan selain ini –digenggamnya pergelangan tangannya sendiri–
dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman
terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. Ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.].Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah r.a. ini yang dijadikan dalil oleh sebahagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.
Kedua, diriwayatkan
dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang wanita
mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi
Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan
seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu
menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang
wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan inai).” [HR. Abu Daud].Dalam menghadpi perbezaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadit-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Dalam mensikapi hadits-hadits yang dzahirnya seolah-olah bertentangan, menurut ilmu hadits dan ushul fiqh harus ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
Thariqatul jam’i, yakni menggabungkan dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Apabila langkah ini tidak bisa dilakukan baru menempuh
Nasikh dan Mansukh, apabila tidak bisa dilakukan, ditempuh
Tarjih, yakni dengan cara meneliti dan membandingkan mana dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini harus dilakukan secara cermat dan teliti serta harus memperhatikan kaidah-kaidah tarjih yang telah digariskan oleh para ulama. Kalau langkah ini sulit dilakukan kerana sama-sama kuat atau masih kabur baru menempuh langkah terakhir
Tawaqquf, yaitu menghentikan kajian dalam menggali hukumnya. Namun terus berusaha sampai Allah SWT membukakan persoalan tersebut untuk diketahui. (Lihat Dr. Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Hadits, hal. 58).
Saran untuk para
muslimin dan muslimah:
adalah lebih baiknya
dengan mengambil prinsip kehati-hatian atau prinsip cari aman. Dalam kasus di
atas maka lebih baiknya adalah tidak bersalaman..wallahu ‘alam
Sumber dalil dan pembahasannya: http://sabriyaacob.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar